Monday 9 December 2013

Maaf, Hujan, karena Pernah Membencimu

"Aneh memang: selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melankolinya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memtik kenangan yang tak diinginkan." Amba Laksmi Pamuntjak - Sebuah Novel

Tuhan menurunkan hujan untuk berbicara dengan makhluk di bumi. Setiap tetesan air yang diturunkannya membawa berbagai macam pesan dari langit, kebahagiaan, duka, dan peringatan.

Hujan menjadi kebahagiaan bagi para petani yang tanah sawahnya telah retak mengering. Bagi pelaut, hujan terkadang menjadi penghalang untuk mencari nafkah bagi keluarga. Bagi orang seperti gue? Hujan menjadi pena yang menuliskan berbagai macam cerita di dalam buku kehidupan.

Hujan memang tidak pernah turun tanpa mengukir cerita. Suka, duka, amarah, tawa, dan tangis, hujan selalu pernah mengiringinya, menjadi saksinya.

Gue dulu pernah begitu jatuh cinta dengan hujan. Setiap hujan datang, ada lagu yang bersenandung, menggoda kaki untuk segera turun ke tanah dan berdansa. Tubuh seketika terasa sakau, memaksa diri untuk segera larut dalam setiap tetes airnya.

Dan ketika akhirnya kulit ini disentuh oleh beribu titikan airnya..

Ada rasa yang tidak mampu diungkapkan oleh kata terindah sekalipun. Tak akan bisa dibayangkan, oleh khayalan tingkat tertinggi sekalipun, bila tidak merasakannya sendiri secara langsung.

Dulu, waktu gue masih di masa kehidupan putih abu-abu, gue teramat sangat mencintai hujan. Bila hujan mengguyur kota di waktu gue pulang sekolah, gue jarang banget yang namanya pakai jas hujan. Di masa itu, gue masih belulm bisa naik motor, jadi biasanya gue nebeng teman gue yang kebetulan juga nggak suka yang namanya pakai jas hujan. Gengsi, begitu katanya dulu. Jadi kami lebih suka menerabas derasnya air yang turun membasahi bumi.

Kulit ini terasa begitu gembira ketika hujan menyapanya. Air yang mengalir di kulit terasa melunturkan segala beban dan hanya meninggalkan ketenangan.

Yah. Seperti itulah gue begitu mencintai hujan. Walau terkadang hujan tidak hanya meninggalkan bahagia tapi juga air yang mengalir dari hidung gue, tidak ada sedikitpun niatan untuk berhenti bermain di bawah langit ketika ia datang.

Tapi suatu saat gue pernah sekali begitu membenci hujan.

Di kota cinta-nya Indonesia ini, hujan tidak datang sesuka hati seperti di kota minyak. Dia datang sesuai dengan jadwalnya, biasanya di akhir tahun di kala nama bulan berakhir dengan kata "ber": September, Oktober, November, Desember.

Seharusnya hujan yang turun di kota ini akan membawa kebahagiaan yang lebih, karena biasanya sebelum masuk musimnya, cuaca di kota ini akan terasa sangat panas dan gerah. Tapi tidak di masa hujan menjadi musuh besar gue.

Di masa itu, hujan benar-benar menjadi hal yang gue benci. Pasangan gue dulu nggak terlalu suka untuk berbasah-basahan di tengah hujan, Dia lebih suka terbalut dalam hangatnya selimut dan menjadikan hujan sebagai lagu yang bersenandung mengantarkannya ke dunia mimpi. Hujan menjadi pemicu ledakan amarah di antara kami berdua, ketika gue memaksakan hasrat untuk melepas rindu di tengah-tengah air yang jatuh, sedangkan dia tidak ada niatan sama sekali.

Hujan menjadi penghalang bagi kami untuk bertemu, sedangkan ia selalu menghadirkan sejuta rindu yang tak diinginkan ketika ia turun dari langit. Tidak bertanggung jawab bukan?

Tapi untungnya, kebencian gue terhadap hujan perlahan memudar seiring dengan pudarnya cerita gue dan dia, #Thanks, Mantans! Setelah akhirnya kami memutuskan untuk menjalani hidup masing-masing, gue kembali mendapati kebahagiaan di setiap tetesan air hujan.

Hujan kembali datang sebagai sosok yang menyegarkan raga, menghapuskan lara, dan (tetap) menghadirkan rindu. Tapi kali ini gue membiarkan segalanya hanyut tenggelam dalam luapan rindu yang diciptakannya. Melepaskan angan terbang jauh ke mana pun angin hujan membawanya.

Gue kembali terjerat dalam aroma tanah basah, dan terangsang oleh irama air yang bertabrakan dengan tanah. Tubuh gue menjerit begitu kerasnya, mengirimkan sinyal kepada otak untuk segera menyuruh kaki ini berlari membawa diri berlabuh dalam pelukan hujan.

Rasa yang tak mampu dijabarkan itu, kembali hadir merasuk kini.

Maaf hujan, untuk benci yang pernah tercipta. Kali ini, gue nggak akan pernah protes ketika lo hadir, untuk membasahi bumi, mengkuyupkan baju gue, membatalkan janji gue, dan menghadirkan rindu yang menusuk-nusuk dada begitu hebatnya untuk semua orang terkasih.




Kota Cinta, di musim hujan.

0 comments:

Post a Comment