Tuesday 24 December 2013

Accidentally Twin

“Or might the soul clone itself, create a perfect imitation of something yet to be defined?" - Ellen Hopkins in Identical, 2008.

Gue dulu pernah dengar kalau setiap manusia di muka bumi ini masing-masing punya 7 kembaran, tersebar di seluruh penjuru dunia. Biasanya, bukan kita sendiri yang akan menemukan kembaran kita itu, melainkan orang lain. Coba ingat aja, sudah seberapa sering lo dengar orang bilang, "Gue ketemu orang yang mirip banget sama lo." atau "Lo itu persis banget kayak si anu / kayak teman gue / saudara gue / tetangga gue."

Sudah tujuh kali kah?

Seingat gue, baru beberapa orang yang bilang hal-hal semacam itu ke gue. Belum ada tujuh sepertinya. Gue nggak begitu perhatikan. Lagipula, gue nggak begitu tertarik untuk di-sama-sama-kan dengan orang lain, atau pun percaya kalau manusia itu punya tujuh kembaran. Itu kan kata orang. Mitos.
Tapi dia, memaksa gue untuk mau-tidak-mau percaya bahwa gue punya tujuh kembaran di muka bumi ini.
Namanya Kiki Wicakso, yang waktu pertama kali gue kenal gue panggil "Mas" karena technically doi senior gue di dunia perkampusan, tapi kemudian waktu mengungkap kenyataan bahwa dia yang harus manggil gue "Mbak".

Gue kenal ini bocah baru setahun. Iya. Setahun.
Setahun saja sudah cukup memberikan bukti bahwa ada kemungkinan bahwa kami kembar identik. Entah apalagi yang akan terungkap di waktu yang terus bergulir ini.

Awal tahun ketiga menjadi mahasiswi, tingkat kekejaman dunia perkuliahan semakin meningkat. Yang biasanya minggu pertama kembali ke peradaban kampus dihabiskan oleh dosen belum mood ngajar dan kelas kosong mulai tiada. Para dosen hadir di semua kelas dan tanpa ba-bi-bu sudah membagikan jadwal tugas untuk satu semester. Amazing! Ditambah kebanyakan tugas adalah tugas kelompok. Jadi adalah sebuah nasib buruk bagi mahasiswi macam gue yang masih terbawa euforia liburan di minggu pertama semester baru, ogah-ogah-an bangun pagi, mandi, dan pergi ke kampus: susah dapat kelompok!

Tapi beruntunglah gue punya beberapa orang yang bisa diandalkan untuk selalu dengan baik hati memungut gue untuk jadi bagian di kelompok mereka. Jadi, tanpa gue masuk kelas pun, gue selalu dapat kelompok tugas. Thanks banget Lukas, Ayu, Endah, Puput, dan Sukma untuk kebaikan hati kalian. Semoga Tuhan menyediakan space di surga-Nya yang indah untuk kalian.

Hingga suatu ketika entah dapat wangait dari mana gue rajin dan masuk kelas. Tepat dengan dugaan gue, dosen di kelas itu nyuruh mahasiswanya untuk membuat kelompok tugas di akhir kelasnya. Selesai kelas anak-anak yang lain pada ribut buat kelompok tugas. Gue masih duduk, berdua bengong bareng Lukas, memperhatikan anak-anak yang lain memilah-milih teman untuk jadi anggota kelompok.

Bagi orang macam gue dan Lukas yang nggak begitu populer di kalangan kelas, kampus, apalagi universitas, dapat kelompok aja udah alhamdulillah. Jadi kami nggak perlu sok-sok milih teman yang harus begini begitu untuk jadi anggota kelompok.

Sampai akhirnya teman-teman yang biasa jadi kelompok gue sepertinya juga mulai memilah-milih orang untuk jadi anggota kelompoknya. Mereka seperti memperebutkan untuk bisa jadi bagian kelompok dari salah seorang senior yang ada di kelas itu. Gue sih nggak kenal sama itu orang, sampai gue tanya ke Lukas.  
"Oh, itu Mas Kiki, Ban. Yang kemaren exchange itu lho, makanya sekarang ikut kelas kita."

"Oh."
Gue cuma membatin.Gue sama Lukas pasrah aja lah ya. Kami udah daftar jadi anggota kelompok mereka, tapi kalau nggak keterima yaudahlah, kelompok tetap bisa didirikan dengan dua orang di dalamnya.

Hingga entah bagaimana caranya mereka mengatur, kelompok itu tetap jadi, dan diterima dengan ikhlas oleh semua orang (sepertinya).
Dan ternyata, gue dan Lukas malah kebagian jadi anggota kelompok si orang yang mereka panggil-panggil Mas Kiki itu, berempat ditambah si Ayu.

Tugas kelompok buat kami sering duduk bersama di dalam kelas, dan bertemu di luar jam kampus lebih intens. Ngobrol sana-sini, cerita ini-itu, ketawa haha-hihi sama-sama. Sampai suatu ketika kami berbicara tentang tanggal lahir. Air muka Mas Kiki tiba-tiba agak-agak gimana gitu waktu tau gue kelahiran bulan Oktober. Dengan gampangnya gue bisa nebak kalau doi juga dilahirkan di bulan yang sama.

Tapi kami nggak pernah menyangka kalau ternyata kami lahir plek di hari yang sama, tanggal yang sama, bulan yang sama, bahkan tahun yang sama. Dan akhirnya gue harus siap dipanggil "Mbak" sama doi karena ternyata gue dilahirkan pagi dan doi malam.

Akhirnya kami sepakat untuk saling memanggil "Mbar", stands for "Kembaran". Buat lucu-lucu-an aja, tentunya.

Gue pikir cukup kelahiran kami yang sama, nggak perlu hal-hal lainnya. Tapi ternyata, kenyataan-kenyataan yang ada sepertinya akan menjadi alasan konkrit bagi gue untuk tanya ke Komandan dan Ibu Negara apa mereka yakin cuma lahirin satu bayi?

Mulai dari gadget yang kami punya sama persis: tab samsung, blackberry, iphone. Tapi ya, yang namanya gadget semua orang bisa punya gadget yang sama yah. Gue sih anggap angin lalu aja.

Tuhan kemudian menunjukkan keajaiban lainnya. Kami memiliki cerita cinta yang bisa dibilang sama. Waktu gue punya pacar, doi juga punya pacar. Waktu gue putusan waktu masa KKN, eh, kapal cinta doi tenggelam, persis waktu KKN juga
.

Sampai akhirnya, tepat semalam, kami bertukar cerita tentang tantangan jarak yang harus kami lalui untuk meraih cinta. S
emalam waktu gue lagi cek twitter secara nggak sengaja gue baca twit doi tentang jarak Indonesia-Santiago yang berbau-bau merah jambu.

Nggak pakai basa-basi gue langsung whatsapp doi, hingga akhirnya mengalirlah cerita cinta jarak jauh (banget) doi. Belum pasti sih, hanya sekedar pengungkapan dan keputusan "Let the time flows and grows the love."

Gue sampai kehabisan akal, mencari jawaban kenapa cerita kami bisa begitu sama. Awalnya, alurnya, hingga keputusan yang dibuat.

Ah, Tuhan memang selalu punya banyak kejutan yang nggak pernah kita duga sebelumnya.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kami mungkin memang tidak dilahirkan dari ibu yang sama, tidak dikandung dalam rahim yang sama, tidak dibesarkan dalam keluarga yang sama, tapi merasa diikat oleh suatu hubungan yang terasa begitu erat yang sangat mendekatkan hati dan pribadi masing-masing.

Kami mungkin baru bertemu selama setahun, tapi gue merasa mengenal dia begitu dalam dan jauhnya hingga rasanya gue bisa tau apa yang sedang dia pikirkan dan rasakan.

We are not technically twin, but God makes us identical somehow.






Balikpapan,
di tengah-tengah rindu yang tiba-tiba hadir.
Untuk Mbar Kiki tersayang, kalau tiba-tiba kamu galau, bahagia,
sedih, atau sakit tanpa sebab, sebaiknya kamu hubungi aku.
I love you, twin :)

0 comments:

Post a Comment