-Diam-
Terkadang kita tidak harus berkata apa-apa untuk melakukan
sebuah tindakan.
‘Tok.. Tok..
Tok..’ Palu hakim telah diketukkan tiga
kali dan mengakhiri sidang pertama perceraianku. Hasil sidang memutuskan aku
untuk melakukan proses mediasi pertama dengan suamiku, ehm maksudku calon
mantan suamiku, selama tiga minggu. Sebenarnya aku enggan untuk mengikuti
proses mediasi ini. Yang aku mau, urusan perceraian ini cepat terselesaikan dan
aku dapat menarik satu nafas lega. Bagaimanapun, keputusanku sudah bulat dan
tidak ada satupun yang dapat merubahnya, aku ingin berpisah dari seorang pria
yang telah menyandang status sebagai suamiku selama kurang lebih lima tahun
ini.
Ada banyak alasan kenapa aku masih tetap bertahan dengan
keputusan yang aku buat satu bulan yang lalu, walau banyak pihak yang
menyayangkan dan bahkan sangat terkejut ketika mendengar aku sedang mengurus
perceraian. Bahkan, Tegar yang tak lama lagi akan berubah statusnya menjadi
duda pun masih sering memandangku dengan penuh tanda tanya, mengapa aku
bersikukuh untuk berpisah dengannya. Namun aku sudah berulang kali menjelaskan
padanya bahwa inilah jalan yang terbaik untuk dia dan aku. Walau masih sering
ku temukan Tegar tidak puas dengan akhir dari semua perdebatan kami, aku
biasanya tetap berlalu dari hadapannya dan memegang teguh keputusanku.
Mungkin memang sebuah kesalahan besarku terlalu terburu-buru
mengambil keputusan untuk menikah di usia yang sangat muda. Ditambah pula
dengan pasangan yang kupilih, berusia sepantaran denganku. Ya, aku menerima
pinangan Tegar ketika aku berusia 21 tahun, dan Tegar hanya lebih tua 3 bulan
dariku. Andai saja aku memikirkannya sedikit lebih lama lagi, mungkin
pereceraian ini tidak akan terjadi.
Namun, walau kami menikah di usia muda, urusan financial bukan menjadi sebuah masalah
bagi kehidupan rumah tangga kami, bukan pula menjadi alasan kenapa aku ingin
berpisah dengannya. Tegar adalah seorang pekerja keras yang tidak pernah
mengenal putus asa. Dia pantas disebut sebagai seorang dream maker. Apapun akan dia lakukan untuk menggapai apa yang sudah
diinginkannya. Itu memang bukan sesuatu yang buruk pada dasarnya. Buktinya, dia
mampu menciptakan sebuah usaha sendiri yang benar-benar dimulainya dari nol
semenjak masih kuliah, dan berkembang cepat sehingga dua bulan setelah dia
resmi menyandang gelar SE-nya dia datang untuk meminangku.
Kulihat Tegar datang berjalan ke arahku setelah kami keluar
dari ruang sidang. Aku pun segera mengakhiri pembicaraanku dengan seorang ahli
hukum yang ku tunjuk menjadi pengacara yang akan mendampingiku selama proses
perceraianku ini. Pengacaraku berlalu sambil tersenyum ke arah Tegar yang
kemudian dibalas dengan sebuah anggukan kecil oleh Tegar. Dia berdiri dan
memandangku untuk sekian detik sebelum mulai berbicara.
“Ayo, kita pulang, Nin,” ajaknya. Aku memandang sejenak kedua
orang tuaku yang melambaikan tangan dan berjalan beriringan keluar. Mereka
memang sengaja pulang duluan agar mereka tidak harus meladeni rengekkanku yang
ingin pulang ke rumah mereka, bukan ke rumahku dan Tegar.
“Nin..?” Tegar kembali memanggilku. Aku pun memandangnya
sejenak dan lalu mengangguk. Aku berjalan di samping Tegar, tanpa kata-kata dan
tidak pula bergandengan tangan. Walau sebenarnya aku sempat melihat Tegar
mengulurkan tangannya untuk menggandengku.
* * *
Dua minggu menjalani proses mediasi, masih belum ada rasa tergugah di
hatiku untuk mengubah keputusan yang telah kuambil. Belum lagi Tegar yang aku
rasa tidak ada usaha sama sekali untuk memperbaiki hubungan pernikahan kami
yang berada di ujung tanduk ini. Dia tetap bekerja seperti biasa, pergi ke
kantor jam setengah 8 pagi dan pulang jam 6 sore. Setelahnya, dia habiskan
waktu kurang lebih sampai jam 8 malam untuk memeriksa pekerjaan karyawannya.
Tegar memang tidak pernah melewatkan jam makan malamnya bersamaku, namun kami
menjadi seperti dua orang yang baru saling kenal yang tidak tahu harus membahas
apa selama berada di meja makan. Tidak ada tawa yang tercipta, hanya dentingan
sendok dan garpu yang beradu. Tegar memang selalu berusaha untuk menciptakan
topik yang bisa dibicarakan selama makan, namun aku terlalu malas untuk
menanggapinya jadi aku hanya mengangguk, atau tersenyum untuk menghargai usaha
Tegar membangun komunikasi antara aku dan dia. Sebuah hembusan nafas berat
adalah sebuah tanda ketika Tegar menyadari dia gagal mengajakku berkomunikasi.
Aku duduk di sofa ruang tengah dan mataku terhenti pada foto pernikahanku
dengan Tegar yang dicetak besar dan dibingkai lalu digantung di dinding. Betapa
serasinya aku dan dia ketika menggunakan baju pengantin yang serba putih.
Betapa bahagia pula ekspresi wajah kami kala itu. Aku tertegun sejenak,
kemudian aku bangkit dan menuju lemari televisi yang cukup besar dan membuka
laci paling bawah. Ku ambil sebuah album foto berwarna merah marun dan
membawanya kembali ke sofa. Aku membuka cover
depannya dan menemukan tulisan “Just
Married Tegar and Nina. Joy and happiness are with them ever after”. Lembaran
demi lembaran album ku buka, mengingatkanku pada sebuah pesta pernikahan yang
megah. Dihadiri oleh ratusan tamu undangan, diiringi dengan doa dan restu dari
teman, kerabat, dan keluarga. Tegar berhasil mewujudkan impian kami setelah berpacaran
kurang lebih enam tahun. Hebatnya, Tegar membiayai pernikahan kami murni dengan
hasil keringatnya sendiri, tanpa ada bantuan dari keluarganya ataupun
keluargaku.
Ku pandangi lagi sudut-sudut ruang tengah rumah yang dijadikan Tegar
sebagai hadiah di ulang tahun perkawinan kami yang kedua, rumah dua lantai yang
lagi-lagi diwujudkan Tegar dengan usahanya sendiri. Ada banyak foto kami berdua
terbingkai yang digantung di dinding ataupun berada di atas meja. Terbingkai
wajah kami berdua dengan senyum lebar dan tawa bahagia. Tak pernah ada dugaan
bahwa semua itu akan berakhir secepat ini. Ada sebuah foto yang mungkin diambil
sekitar 7 tahun yang lalu, saat di mana aku dan Tegar masih berpacaran. Aku dan
dia memegang sebuah kue kecil berbentuk hati dan ada satu lilin menyala di
atasnya. Aku yakin itu pasti salah satu foto kami saat merayakan hari jadian
kami. Satu impian tercipta kala itu, aku dan Tegar akan hidup bahagia hingga
maut memisahkan. Membesarkan anak-anak dan melihat cucu-cucu kami berlarian
kecil dan tertawa riang. Namun mungkin kali ini kenyataan ingin menegur kami,
tidak semua impian akan menjadi sebuah kenyataan.
‘Tingtong..’ bel
rumahku berbunyi. Aku melirik jam dan masih jam dua siang. Siapa yang bertamu
siang-siang begini?
“Nggak usah, Bi. Aku aja yang buka pintunya,” ucapku pada Bi
Inung yang sudah bergegas menuju pintu. Bi Inung pun tersenyum dan kembali
menuju dapur. Aku memutar anak kunci dua kali dan membuka pintu rumahku itu.
Mataku sedikit membesar mendapati Tegar berdiri di depan pintu dengan tas kerja
dan jas. Ini masih jauh dari jam pulang kantornya. Apa dia sakit?
“Assalamu’alaikum..” ucapnya. Aku masih tertegun sejenak sebelum menjawab
salam yang diucapkannya tadi. Tegar pun masuk dan aku kembali mengunci pintu. “Nin,
siap-siap gih,” ucapnya sambil
membuka kancing kemejanya satu persatu.
“Siap-siap buat apa?” tanyaku. Tegar tersenyum melihat ekspresi wajah
bingungku.
“Mandi, terus dandan yang cantik. Kita makan malam di luar hari ini,”
ucapnya sambil memandangku. Aku masih mematung di tempatku berdiri, pikiranku
masih mencoba menjelajah ke mana tujuan pembicaraan Tegar. “Kamu mau duluan
mandi, atau aku duluan?” Tanya nya lagi. Aku masih belum menjawab. “Oke, aku
duluan mandi,” Tegar berlalu dari hadapanku. Walau masih belum mengerti apa
yang terjadi dengan Tegar, aku pun menyusulnya untuk bersiap-siap untuk sebuah
makan malam di luar hari ini.
* * *
Tidak seperti biasanya, Tegar malam ini terlihat sangat rapi. Dia
bercukur, menggunakan kemeja putih yang tidak dimasukkan ke dalam celana kain
hitamnya, dan bersisir. Entah kapan terakhir kali aku melihat Tegar yang
seperti ini ketika akan jalan berdua denganku. Biasanya dia hanya berpenampilan
seperti biasa, walaupun terkadang dia menghadiri acara yang sedikit penting.
Ya, Tegar memang bukan orang yang pandai untuk berdandan, aku yang biasanya
memilihkan baju apa yang pantas untuk dia pakai ke acara-acara yang akan
didatanginya. Aku juga yang selalu mengingatkannya untuk mencukur kumis,
jenggot, dan rambutnya. Tapi setengah tahun terakhir, aku sudah mulai bosan
untuk terus mengingatkannya.
“Aku sudah ganteng?” tanyanya
sambil tersenyum kepadaku. Aku menatapnya sebentar lalu mengangguk pelan seraya
tersenyum. Tegar pun membalas tersenyum. “Yuk, berangkat,” ujarnya kemudian.
Dia membukakan pintu mobil untukku ketika hendak pergi dan saat sampai di
restoran. Berjalan di sampingku, walau aku masih tetap saja pura-pura tidak
melihat uluran tangannya untuk menggandengku.
Seorang pelayan mengantarkan kami ke sebuah meja di pojok ruangan yang
ternyata sudah dipesan oleh Tegar sebelulmnya. Dia kemudian meninggalkan kami
dengan dua buah buku menu dan berkata akan kembali ketika kami sudah siap untuk
memesan.
Aku membaca satu persatu daftar makanan yang ada di buku menu. Sudah lebih
dari lima tahun restoran ini menjadi tempat makan favoritku dan Tegar, dan
sampai sekarang daftar makanan yang ada tidak terlalu banyak berubah.
“Kebaca nggak tulisannya,
Sayang?” tanya Tegar yang melihatku hanya membolak-balik halaman buku menu
dalam diam. Aku memandangnya sejenak. Dia memanggilku apa tadi? “Sayang”?
“Nin..?” tanyanya lagi. Aku mengangguk cepat dan menunjuk nasi goreng seafood dan lemon tea hangat sebagai menu yang akan ku pesan. Tegar memanggil
pelayan dan memesan dua porsi nasi goreng seafood,
menu yang memang telah membesarkan nama restoran ini, dan itu adalah menu
favorit kami berdua semenjak dulu kami sering nge-date semasa pacaran.
Temaram cahaya lilin menemani acara makan malam kami. Kali ini Tegar yang
lebih banyak berbicara daripada aku. Aku hanya memilih diam, mengangguk,
menatapnya diam, tersenyum, dan menjawab sepatah dua patah kata. Aku tau, Tegar
berusaha kuat untuk bisa membangun lagi komunikasi di antara kami. Namun,
bagiku itu sudah terlalu terlambat untuk dilakukan.
Makan malam yang sebenarnya sama seperti makan malam biasanya – hanya
diramaikan dentingan sendok dan garpu, dan sedikit pembicaraan dari kami berdua
– hanya saja berbeda tempat. Saat Tegar bertanya ingin ke mana lagi setelah
makan malam, aku pun langsung menjawab, “Pulang.”
Tegar menatapku sebentar dengan pandangan yang entah apa itu namanya. Ada
sedikit rasa kecewa kutemukan di sana, namun pada akhirnya dia tetap
mengarahkan mobilnya menuju rumah.
Aku langsung masuk ke kamar tidur saat sampai di rumah. Aku sudah berniat
mengganti baju ketika Tegar menyusulku masuk ke dalam kamar dan memelukku dari
belakang.
Aku bergerak refleks melepaskan pelukannya, namun dia kembali menarikku masuk
ke dalam dekapan kedua tangannya.
“Nin, biarkan aku memelukmu sebentar saja. Aku rindu,” ucapnya pelan, dan lirih. Hembusan nafasnya yang berat dan cepat terasa
di tengkukku. Bahkan, aku pun bisa merasakan betapa keras degup jantungnya. Aku
mengenal Tegar hampir 15 tahun lamanya, dan aku tahu persis apa yang sedang dia
rasakan saat ini, maka aku biarkan dia mendekapku erat.
“Kamu sadar nggak, Nin sekarang
hari apa?” tanya Tegar sambil tetap memelukku erat. Aku diam tak menjawabnya.
Tegar menunggu jawabanku untuk sekian menit, namun dia sadar aku tidak akan
menjawab, jadi dia melanjutkan, “Sekitar 11 tahun yang lalu, aku menyatakan
cintaku sama kamu. Bukan sebuah pernyataan cinta yang romantis memang. Aku hanya
mengajakmu ke pantai lalu memintamu menjadi kekasihku saat matahari tenggelam.”
Aku melayangkan fikiranku ke memori 11 tahun yang lalu, dan otakku memutar
rekaman kenangan itu dengan sangat jelas di setiap detailnya. Tegar semakin
erat mendekapku dan terus mengenang segalanya.
“Kamu pun menerimaku setelah
berfikir selama lima menit, dengan alasan tanggal yang aku pilih lumayan jadi
angka cantik, 09-09-99,” terdengar dia berbicara sambil tersenyum, namun dari
suaranya masih terdengar jelas ada yang tercekat di tenggorokannya.
“Aku mau tetap bisa memelukmu seperti sekarang, Nin. Sampai nanti kita
tua, seperti impian yang pernah kita buat bersama dulu,” lanjutnya dan aku
masih tetap bertahan dalam diamku.
Tegar masih mencoba mempertahankan aku dalam peluknya untuk beberapa saat
namun pada akhirnya dia melonggarkan pelukannya ketika aku masih saja tak
bersuara samasekali. Aku pun langsung mengeluarkan diri dari dekapan kedua
tangannya, dan Tegar membiarkanku. Ternyata, dia tak membiarkanku lepas sepenuhnya.
Dia kemudian memegang erat pundakku dan menatapku dalam.
“Nina, tatap aku,” pintanya. Aku masih enggan menatap matanya. “Tatap aku,
Nina,” pintanya lagi. Aku pun akhirnya melihat dua bola mata itu. bola mata
coklat yang membuatku jatuh hati pada seorang bernama Tegar.
“Aku masih sayang kamu, Nina. Tolong, jangan lanjutkan semua ini. Aku mau
menghabiskan usiaku denganmu, Sayang,” seluruh kalimat yang terucap dari bibir
Tegar terdengar begitu lirih. “Aku masih suamimu, dan kamu akan tetap menjadi
istriku sampai kapanpun,” ucapnya kemudian sambil kembali memelukku. Kali ini aku
membiarkannya, bahkan membalas pelukannya. Tegar kemudian menggendongku, dan
mematikan lampu kamar.
* * *
Setelah melewati tiga minggu mediasi pertama, aku dan Tegar bertemu dan
berkonsultasi dengan mediator kami. Tegar menatapku dalam ketika aku menjawab
akan tetap menggugat cerai dirinya dan sempat tidak bisa berkata apa-apa, namun
setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya aku menyetujui saran
mediator kami yang mendukung permintaan Tegar untuk melakukan proses mediasi
kedua selama dua minggu.
Entah apa yang harus aku lakukan selama proses mediasi kedua ini.
Sebenarnya, walau sampai mediasi kelima pun keputusanku tidak akan berubah. Aku
tak mengerti apa gunanya bagi Tegar untuk menunda-nunda proses perceraian kami.
Karena sudah hampir seminggu menjalani mediasi kedua ini, dia kembali menjadi
Tegar yang dulu, Tegar yang pergi kerja pagi, pulang kerja malam, dan
melanjutkan kerjanya di rumah. Bahkan kini Tegar pun terlalu lelah untuk makan
malam denganku. Dia melewatkan jam makan malam, dan tertidur di atas meja
kerjanya di atas tumpukan-tumpukan kertas.
Akhirnya, kami pun sampai di H-1 akhir dari proses mediasi kedua. Jam di
dinding sudah menunjukkan jam 8 malam, dan aku masih duduk di sofa ruang tengah
menunggu Tegar pulang. Harus ada kesepakatan yang diambil malam ini, sehingga
tak ada lagi perdebatan yang akan terjadi esok hari saat bertemu dengan
mediator kami.
Lima belas menit kemudian, bel rumah berbunyi. Tegar masuk ke dalam rumah
dengan wajah yang terlihat sangat lelah. Aku menatapnya lekat semenjak ia
terlihat di ujung ruang tengah. Walau aku bisa menebak dari ekspresinya dia
enggan membahas permasalahan ini, tapi pada akhirnya dia duduk di sofa panjang
di samping sofa yang aku duduki.
Tegar menatapku lekat dengan pandangan yang menyiratkan banyak makna. Aku
pun balas memandangnya dalam tak berkedip. Tegar akhirnya menghembuskan nafas
yang cukup panjang sebelum mulai berbicara.
“Jadi.. Masa mediasi kita sudah habis?”
Aku tak menjawab. Tegar pun diam tak melanjutkan berkata apa-apa. Raut
wajahnya menggambarkan jelas ada perundingan hebat yang terjadi dalam
kepalanya.
“Nina.. Aku mohon sekali lagi sama kamu, pikirkan lagi tentang perceraian
ini.”
Aku menjawab permintaan Tegar dengan mengerutkan dahiku.
“Pasti ada jalan keluar selain perceraian, Nin. Kita bisa pikirkan
bersama-sama langkah apa yang akan kita ambil untuk menyelesaikan masalah ini
tanpa harus bercerai.”
“Sudah nggak ada waktu untuk
berfikir, Gar. Besok hari terakhir mediasi kedua kita, dan besok kita akan
memutuskan kalau kita akan berce..”
“Nggak! Kita nggak akan pernah bercerai, Nin!” nada tinggi
suara Tegar memotong kalimatku yang belum selesai.
“Gar, kita sudah membahas ini berkali-kali dan kita tau, ini jalan terbaik buat kita.”
“Kamu selalu bilang ini jalan yang terbaik, Nin! Mungkin ini terbaik untuk
kamu, tapi nggak untuk aku! Pikirkan
aku, Nin, jangan cuma pikirkan dirimu sendiri!”
“Apa lagi yang bisa kita lakukan, Gar? Kita sudah menempuh berbagai cara,
bahkan kita sudah melalui dua proses mediasi dan itu nggak berhasil sama sekali!”
“Mediasi kita nggak berhasil itu
gara-gara kamu, Nin!”
“Apa?? Kamu bilang mediasi kita gagal gara-gara aku??”
“Iya. Mediasi kita gagal karena kamu! Aku sudah mencoba segala cara untuk
memperbaiki komunikasi antara kita, tapi apa balasanmu?? Kamu cuma diam, Nin!
Kamu cuma diam! Apa yang bisa aku lakukan kalau kamu cuma diam? Bagaimana aku
bisa tau apa maumu kalau kamu hanya
diam membalas semua caraku untuk bisa berkomunikasi denganmu??” Tegar mulai
kehilangan kontrol emosinya, dan berbicara nyaring sambil berdiri.
“Aku capek, Gar berdebat sama kamu! Aku juga sudah capek bilang apa mauku
sama kamu! Aku capek kamu tinggal-tinggal terus!”
“Kapan aku ninggalin kamu, Nin??
Kapan? Jawab kapan!”
“Kamu pikir kenapa sampai sekarang kita belum juga punya anak, Gar?! Kenapa??
Karena kamu terlalu sibuk sama pekerjaanmu dan nggak pernah ada waktu buat aku!”
“Apa?” Tegar terdengar tidak percaya dengan apa yang baru saja ku ucap.
“Kamu bilang kita nggak punya anak
gara-gara aku?? Kamu pikir aku sibuk kerja banting tulang selama ini buat apa,
Nin!? Buat kamu! Buat keluarga kita!”
“Tegar, kapan kamu bisa sadar uang nggak
bisa beli kebahagiaan?” aku mulai meneteskan air mata. “Kapan kamu sadar
kalau aku juga butuh perhatian kamu? Aku nggak
butuh semua uangmu, Gar, yang aku butuhin cuma kamu!”
“Aku sudah sebisa mungkin luangin waktuku buat kamu, Nin!”
“Kapan?? Kamu kerja setiap hari dari pagi sampai malam. Bahkan, hari
Minggu pun masih ada aja urusan
kantor yang harus kamu urus! Kapan kamu ada waktu buat aku??”
“Nin! Kita sudah perdebatkan ini sekian kali, dan urusan kantor nggak ada hub …..”
Kalimat Tegar tak kudengarkan sampai habis. Sebuah rasa pening yang sudah
kurasa semenjak menunggu Tegar pulang sudah tak bisa ku tahan lagi, dan
semuanya menjadi gelap.
* * *
Aku membuka mataku walau masih terasa begitu berat. Ku pandang sekitar,
dan menyadari aku berada di dalam kamarku. Ku coba menebak jam berapa saat ini,
namun korden kamarku masih tertutup rapat, dan aku masih begitu malas untuk
mengangkat kepalaku menoleh ke jam duduk yang ada di meja samping tempat
tidurku.
Tak lama kemudian, Bi Inung masuk ke dalam kamarku membawakan sepotong
roti dan segelas susu. Ia meninggalkan nampan yang berisi sarapanku itu di meja
samping tempat tidur. Ia kemudian membantuku menyusun bantal di belakangku agar
aku bisa duduk bersandar. Kemudian kulihat Tegar masuk ke dalam kamar tak lama
setelah Bi Inung keluar.
Ku lirik jam, dan ku dapati jarumnya menunjuk ke angka 9, tapi Tegar tidak
menggunakan baju kerjanya. Ia menggunakan kaos oblong dan celana pendeknya. Potongan-potongan
kejadian semalam terangkai di otakku ketika Tegar duduk di sampingku dan
mengusap kepalaku lembut.
“Masih pusing?” tanyanya. Aku hanya menjawabnya dengan diam. Tegar
menghela nafasnya cukup panjang. “Sarapan dulu gih,” lanjutnya sambil mengambilkan piring roti.
“Aku nggak lapar,” tepisku. Terdengar
suara piring yang kembali di letakkan di atas nampan kayu. Tegar kemudian
beranjak dari tempat tidur, dan duduk kembali di hadapanku dengan membawa
sebuah bungkusan kotak kecil.
“Nina, semalam kata dokter kamu harus coba ini pagi-pagi,” ucapnya sambil
memberikanku bungkusan kotak kecil berwarna biru. Aku tahu persis apa itu. Aku diam
menatapnya sejenak, kemudian beranjak bangun dari tempat tidur. Tegar
membantuku bangun, bahkan dia menuntunku sampai ke kamar mandi.
Lima menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dan Tegar sudah menantiku
di depan kamar mandi dengan wajah yang entah apa ekspresinya. Aku kemudian
menuju tempat tidur dan memperlihatkannya sebuah kotak kecil dengan tanda plus
di tengahnya.
Kali ini Tegar yang memandangku diam. Aku pun bingung harus berkata apa. Tegar
kemudian menyergapku dengan pelukan yang erat, sangat erat. Dia memelukku diam,
tak berkata apa-apa. Kemudian ia melepaskan pelukannya, berlutut di hadapanku.
Membenamkan kepalanya di pangkuanku dan berkata lirih, “Nina, izinkan aku untuk
tetap hidup bersamamu, untuk bisa merawat dan melihat buah hati kita tumbuh besar.
Hingga nanti kita juga akan melihat cucu-cucu kita berlari kecil dan tertawa
lepas. Aku rela menukar semua yang aku punya dengan satu kata iya dari kamu.”
Bibirku ini terkunci rapat tak mampu mengeluarkan satu patah katapun. Aku
hanya memandang bahu Tegar yang sedikit terguncang oleh isakan kecil. Bagaimanapun,
aku dan Tegar mempunyai sebuah janji untuk bertemu dengan mediator kami siang
ini, untuk memberitahunya sebuah keputusan bulat yang sudah sangat aku yakini.
* * *
Setahun setelah sidang perceraianku berlangsung, hidupku terasa lebih
ringan. Tidak ada lagi perdebatan, dan tak ada lagi beban yang terasa begitu
berat yang harus ku gendong di pundakku. Kini, semua terasa begitu indah dan bahagia.
Terlebih lagi dengan hadirnya Saka, putra hasil pernikahanku dengan Tegar.
Ya, pada akhirnya Tuhan mempercayakan aku dan Tegar untuk menjadi orang tua di
detik-detik terakhir bagi kami untuk mendengar putusan hakim.
Hari ini, putra pertamaku yang hampir seluruh wajahnya mirip aku itu genap
berusia satu tahun. Sebagai buah hati yang paling aku sayang, adalah sesuatu
yang wajar jika aku menyiapkan sebuah pesta spesial di usianya yang pertama
ini.
Rumahku sudah dipenuhi dengan balon berwarna-warni dan anak-anak kecil
dari tetangga sekitar rumahku. Banyak pula anggota keluarga dan sanak saudara
yang datang. Aku pun harus rela sibuk karena harus menerima kado sambil menggendong
Saka. Tak lama kemudian aku melihat Tegar turun dari mobilnya sambil membawa
sebuah kotak putih dengan pita berwarna biru di atasnya. Dia menghampiriku dan
mencium Saka.
“Boleh aku yang menggendong Saka? Jadi kamu bisa letakkan kue ulang tahun
ini di sana,” ucapnya. Aku pun memberikan Saka kepada Tegar dan meletakkan kue
ulang tahun di meja yang ada di depan kerumunan anak kecil. Tak lama kemudian, Lina
adikku, yang bertugas menjadi MC acara pun mulai menyapa anak-anak kecil yang
duduk di depannya. Saka yang sudah diambil Lina sebelumnya dari Tegar,duduk di
belakang kue ulang tahunnya dan tampak begitu bahagia ketika semua tamu
menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuknya.
Aku ikut bernyanyi bersama Tegar yang berdiri di sampingku sambil bertepuk
tangan. Tak lama kemudian, terdengar bunyi handpohe
dari saku baju Tegar. Tegar mengambilnya dan melihat layar handphone-nya. Aku menatap lekat Tegar,
dan Tegar pun memencet tombol merah pada handpohone-nya.
“Iya, Mama sayang.. Papa tau kok
harus apa,” ucapnya sambil mencium pipi kananku. Aku hanya tersenyum sambil
meneruskan bernyanyi. Akhirnya Tegar bisa mengerti dengan aksi diamku.
E N D
Aku
dan Tegar memang bertemu dengan mediator kami siang itu setelah mengetahui aku
mengandung anak pertama kami. Kami akhirnya setuju untuk berdamai dan
melanjutkan kehidupan pernikahan kami demi anak yang sedang aku kandung.
Setelah menandatangani surat-surat, kami pun kembali ke persidangan dan menemui
hakim untuk mencabut semua gugatan cerai yang sudah aku layangkan sebelumnya.
Tegar pun akhirnya mengangkat seorang pegawainya untuk
menjadi wakilnya dan memberikannya 50% tugasnya. Dia tak lagi menggunakan hari
libur dan hari Minggunya untuk bekerja. Sepanjang harinya dia habiskan bersamaku,
menjagaku ketika aku masih mengandung.
Di tanggal 09 Oktober 2011, Saka lahir. Kami sepakat memberinya
nama Sakata Tegar Wicaksana. Sakata berasal dari bahasa Arab yang berati diam,
Tegar berarti kuat yang juga diambil dari nama ayahnya, dan Wicaksana berarti bijaksana.
Harapanku dan Tegar, putra pertama kami ini mampu berdiri kuat dalam perjalanan
hidupnya dan mampu mengambil keputusan dengan bijaksana, walau hanya dalam
diam. Seperti apa yang pernah Mama dan Papa-nya dulu pernah lakukan.
Yogyakarta, 16 Nov
2011
02:06
0 comments:
Post a Comment