Monday 23 January 2012

Diam


­­­­­-Diam-
Terkadang kita tidak harus berkata apa-apa untuk melakukan sebuah tindakan.

‘Tok.. Tok.. Tok..’ Palu hakim telah diketukkan tiga kali dan mengakhiri sidang pertama perceraianku. Hasil sidang memutuskan aku untuk melakukan proses mediasi pertama dengan suamiku, ehm maksudku calon mantan suamiku, selama tiga minggu. Sebenarnya aku enggan untuk mengikuti proses mediasi ini. Yang aku mau, urusan perceraian ini cepat terselesaikan dan aku dapat menarik satu nafas lega. Bagaimanapun, keputusanku sudah bulat dan tidak ada satupun yang dapat merubahnya, aku ingin berpisah dari seorang pria yang telah menyandang status sebagai suamiku selama kurang lebih lima tahun ini.
Ada banyak alasan kenapa aku masih tetap bertahan dengan keputusan yang aku buat satu bulan yang lalu, walau banyak pihak yang menyayangkan dan bahkan sangat terkejut ketika mendengar aku sedang mengurus perceraian. Bahkan, Tegar yang tak lama lagi akan berubah statusnya menjadi duda pun masih sering memandangku dengan penuh tanda tanya, mengapa aku bersikukuh untuk berpisah dengannya. Namun aku sudah berulang kali menjelaskan padanya bahwa inilah jalan yang terbaik untuk dia dan aku. Walau masih sering ku temukan Tegar tidak puas dengan akhir dari semua perdebatan kami, aku biasanya tetap berlalu dari hadapannya dan memegang teguh keputusanku.
Mungkin memang sebuah kesalahan besarku terlalu terburu-buru mengambil keputusan untuk menikah di usia yang sangat muda. Ditambah pula dengan pasangan yang kupilih, berusia sepantaran denganku. Ya, aku menerima pinangan Tegar ketika aku berusia 21 tahun, dan Tegar hanya lebih tua 3 bulan dariku. Andai saja aku memikirkannya sedikit lebih lama lagi, mungkin pereceraian ini tidak akan terjadi.
Namun, walau kami menikah di usia muda, urusan financial bukan menjadi sebuah masalah bagi kehidupan rumah tangga kami, bukan pula menjadi alasan kenapa aku ingin berpisah dengannya. Tegar adalah seorang pekerja keras yang tidak pernah mengenal putus asa. Dia pantas disebut sebagai seorang dream maker. Apapun akan dia lakukan untuk menggapai apa yang sudah diinginkannya. Itu memang bukan sesuatu yang buruk pada dasarnya. Buktinya, dia mampu menciptakan sebuah usaha sendiri yang benar-benar dimulainya dari nol semenjak masih kuliah, dan berkembang cepat sehingga dua bulan setelah dia resmi menyandang gelar SE-nya dia datang untuk meminangku.
Kulihat Tegar datang berjalan ke arahku setelah kami keluar dari ruang sidang. Aku pun segera mengakhiri pembicaraanku dengan seorang ahli hukum yang ku tunjuk menjadi pengacara yang akan mendampingiku selama proses perceraianku ini. Pengacaraku berlalu sambil tersenyum ke arah Tegar yang kemudian dibalas dengan sebuah anggukan kecil oleh Tegar. Dia berdiri dan memandangku untuk sekian detik sebelum mulai berbicara.
“Ayo, kita pulang, Nin,” ajaknya. Aku memandang sejenak kedua orang tuaku yang melambaikan tangan dan berjalan beriringan keluar. Mereka memang sengaja pulang duluan agar mereka tidak harus meladeni rengekkanku yang ingin pulang ke rumah mereka, bukan ke rumahku dan Tegar.
“Nin..?” Tegar kembali memanggilku. Aku pun memandangnya sejenak dan lalu mengangguk. Aku berjalan di samping Tegar, tanpa kata-kata dan tidak pula bergandengan tangan. Walau sebenarnya aku sempat melihat Tegar mengulurkan tangannya untuk menggandengku.
* * *
Dua minggu menjalani proses mediasi, masih belum ada rasa tergugah di hatiku untuk mengubah keputusan yang telah kuambil. Belum lagi Tegar yang aku rasa tidak ada usaha sama sekali untuk memperbaiki hubungan pernikahan kami yang berada di ujung tanduk ini. Dia tetap bekerja seperti biasa, pergi ke kantor jam setengah 8 pagi dan pulang jam 6 sore. Setelahnya, dia habiskan waktu kurang lebih sampai jam 8 malam untuk memeriksa pekerjaan karyawannya. Tegar memang tidak pernah melewatkan jam makan malamnya bersamaku, namun kami menjadi seperti dua orang yang baru saling kenal yang tidak tahu harus membahas apa selama berada di meja makan. Tidak ada tawa yang tercipta, hanya dentingan sendok dan garpu yang beradu. Tegar memang selalu berusaha untuk menciptakan topik yang bisa dibicarakan selama makan, namun aku terlalu malas untuk menanggapinya jadi aku hanya mengangguk, atau tersenyum untuk menghargai usaha Tegar membangun komunikasi antara aku dan dia. Sebuah hembusan nafas berat adalah sebuah tanda ketika Tegar menyadari dia gagal mengajakku berkomunikasi.
Aku duduk di sofa ruang tengah dan mataku terhenti pada foto pernikahanku dengan Tegar yang dicetak besar dan dibingkai lalu digantung di dinding. Betapa serasinya aku dan dia ketika menggunakan baju pengantin yang serba putih. Betapa bahagia pula ekspresi wajah kami kala itu. Aku tertegun sejenak, kemudian aku bangkit dan menuju lemari televisi yang cukup besar dan membuka laci paling bawah. Ku ambil sebuah album foto berwarna merah marun dan membawanya kembali ke sofa. Aku membuka cover depannya dan menemukan tulisan “Just Married Tegar and Nina. Joy and happiness are with them ever after”. Lembaran demi lembaran album ku buka, mengingatkanku pada sebuah pesta pernikahan yang megah. Dihadiri oleh ratusan tamu undangan, diiringi dengan doa dan restu dari teman, kerabat, dan keluarga. Tegar berhasil mewujudkan impian kami setelah berpacaran kurang lebih enam tahun. Hebatnya, Tegar membiayai pernikahan kami murni dengan hasil keringatnya sendiri, tanpa ada bantuan dari keluarganya ataupun keluargaku.
Ku pandangi lagi sudut-sudut ruang tengah rumah yang dijadikan Tegar sebagai hadiah di ulang tahun perkawinan kami yang kedua, rumah dua lantai yang lagi-lagi diwujudkan Tegar dengan usahanya sendiri. Ada banyak foto kami berdua terbingkai yang digantung di dinding ataupun berada di atas meja. Terbingkai wajah kami berdua dengan senyum lebar dan tawa bahagia. Tak pernah ada dugaan bahwa semua itu akan berakhir secepat ini. Ada sebuah foto yang mungkin diambil sekitar 7 tahun yang lalu, saat di mana aku dan Tegar masih berpacaran. Aku dan dia memegang sebuah kue kecil berbentuk hati dan ada satu lilin menyala di atasnya. Aku yakin itu pasti salah satu foto kami saat merayakan hari jadian kami. Satu impian tercipta kala itu, aku dan Tegar akan hidup bahagia hingga maut memisahkan. Membesarkan anak-anak dan melihat cucu-cucu kami berlarian kecil dan tertawa riang. Namun mungkin kali ini kenyataan ingin menegur kami, tidak semua impian akan menjadi sebuah kenyataan.
‘Tingtong..’ bel rumahku berbunyi. Aku melirik jam dan masih jam dua siang. Siapa yang bertamu siang-siang begini?
Nggak usah, Bi. Aku aja yang buka pintunya,” ucapku pada Bi Inung yang sudah bergegas menuju pintu. Bi Inung pun tersenyum dan kembali menuju dapur. Aku memutar anak kunci dua kali dan membuka pintu rumahku itu. Mataku sedikit membesar mendapati Tegar berdiri di depan pintu dengan tas kerja dan jas. Ini masih jauh dari jam pulang kantornya. Apa dia sakit?
“Assalamu’alaikum..” ucapnya. Aku masih tertegun sejenak sebelum menjawab salam yang diucapkannya tadi. Tegar pun masuk dan aku kembali mengunci pintu. “Nin, siap-siap gih,” ucapnya sambil membuka kancing kemejanya satu persatu.
“Siap-siap buat apa?” tanyaku. Tegar tersenyum melihat ekspresi wajah bingungku.
“Mandi, terus dandan yang cantik. Kita makan malam di luar hari ini,” ucapnya sambil memandangku. Aku masih mematung di tempatku berdiri, pikiranku masih mencoba menjelajah ke mana tujuan pembicaraan Tegar. “Kamu mau duluan mandi, atau aku duluan?” Tanya nya lagi. Aku masih belum menjawab. “Oke, aku duluan mandi,” Tegar berlalu dari hadapanku. Walau masih belum mengerti apa yang terjadi dengan Tegar, aku pun menyusulnya untuk bersiap-siap untuk sebuah makan malam di luar hari ini.
* * *
Tidak seperti biasanya, Tegar malam ini terlihat sangat rapi. Dia bercukur, menggunakan kemeja putih yang tidak dimasukkan ke dalam celana kain hitamnya, dan bersisir. Entah kapan terakhir kali aku melihat Tegar yang seperti ini ketika akan jalan berdua denganku. Biasanya dia hanya berpenampilan seperti biasa, walaupun terkadang dia menghadiri acara yang sedikit penting. Ya, Tegar memang bukan orang yang pandai untuk berdandan, aku yang biasanya memilihkan baju apa yang pantas untuk dia pakai ke acara-acara yang akan didatanginya. Aku juga yang selalu mengingatkannya untuk mencukur kumis, jenggot, dan rambutnya. Tapi setengah tahun terakhir, aku sudah mulai bosan untuk terus mengingatkannya. 
“Aku sudah ganteng?” tanyanya sambil tersenyum kepadaku. Aku menatapnya sebentar lalu mengangguk pelan seraya tersenyum. Tegar pun membalas tersenyum. “Yuk, berangkat,” ujarnya kemudian.
Dia membukakan pintu mobil untukku ketika hendak pergi dan saat sampai di restoran. Berjalan di sampingku, walau aku masih tetap saja pura-pura tidak melihat uluran tangannya untuk menggandengku.
Seorang pelayan mengantarkan kami ke sebuah meja di pojok ruangan yang ternyata sudah dipesan oleh Tegar sebelulmnya. Dia kemudian meninggalkan kami dengan dua buah buku menu dan berkata akan kembali ketika kami sudah siap untuk memesan.
Aku membaca satu persatu daftar makanan yang ada di buku menu. Sudah lebih dari lima tahun restoran ini menjadi tempat makan favoritku dan Tegar, dan sampai sekarang daftar makanan yang ada tidak terlalu banyak berubah.
Kebaca nggak tulisannya, Sayang?” tanya Tegar yang melihatku hanya membolak-balik halaman buku menu dalam diam. Aku memandangnya sejenak. Dia memanggilku apa tadi? “Sayang”?
“Nin..?” tanyanya lagi. Aku mengangguk cepat dan menunjuk nasi goreng seafood dan lemon tea hangat sebagai menu yang akan ku pesan. Tegar memanggil pelayan dan memesan dua porsi nasi goreng seafood, menu yang memang telah membesarkan nama restoran ini, dan itu adalah menu favorit kami berdua semenjak dulu kami sering nge-date semasa pacaran.
Temaram cahaya lilin menemani acara makan malam kami. Kali ini Tegar yang lebih banyak berbicara daripada aku. Aku hanya memilih diam, mengangguk, menatapnya diam, tersenyum, dan menjawab sepatah dua patah kata. Aku tau, Tegar berusaha kuat untuk bisa membangun lagi komunikasi di antara kami. Namun, bagiku itu sudah terlalu terlambat untuk dilakukan.
Makan malam yang sebenarnya sama seperti makan malam biasanya – hanya diramaikan dentingan sendok dan garpu, dan sedikit pembicaraan dari kami berdua – hanya saja berbeda tempat. Saat Tegar bertanya ingin ke mana lagi setelah makan malam, aku pun langsung menjawab, “Pulang.”
Tegar menatapku sebentar dengan pandangan yang entah apa itu namanya. Ada sedikit rasa kecewa kutemukan di sana, namun pada akhirnya dia tetap mengarahkan mobilnya menuju rumah.
Aku langsung masuk ke kamar tidur saat sampai di rumah. Aku sudah berniat mengganti baju ketika Tegar menyusulku masuk ke dalam kamar dan memelukku dari belakang.
Aku bergerak refleks melepaskan pelukannya, namun dia kembali menarikku masuk ke dalam dekapan kedua tangannya.
“Nin, biarkan aku memelukmu sebentar saja. Aku rindu,” ucapnya pelan, dan lirih. Hembusan nafasnya yang berat dan cepat terasa di tengkukku. Bahkan, aku pun bisa merasakan betapa keras degup jantungnya. Aku mengenal Tegar hampir 15 tahun lamanya, dan aku tahu persis apa yang sedang dia rasakan saat ini, maka aku biarkan dia mendekapku erat.
“Kamu sadar nggak, Nin sekarang hari apa?” tanya Tegar sambil tetap memelukku erat. Aku diam tak menjawabnya. Tegar menunggu jawabanku untuk sekian menit, namun dia sadar aku tidak akan menjawab, jadi dia melanjutkan, “Sekitar 11 tahun yang lalu, aku menyatakan cintaku sama kamu. Bukan sebuah pernyataan cinta yang romantis memang. Aku hanya mengajakmu ke pantai lalu memintamu menjadi kekasihku saat matahari tenggelam.”
Aku melayangkan fikiranku ke memori 11 tahun yang lalu, dan otakku memutar rekaman kenangan itu dengan sangat jelas di setiap detailnya. Tegar semakin erat mendekapku dan terus mengenang segalanya.
 “Kamu pun menerimaku setelah berfikir selama lima menit, dengan alasan tanggal yang aku pilih lumayan jadi angka cantik, 09-09-99,” terdengar dia berbicara sambil tersenyum, namun dari suaranya masih terdengar jelas ada yang tercekat di tenggorokannya.
“Aku mau tetap bisa memelukmu seperti sekarang, Nin. Sampai nanti kita tua, seperti impian yang pernah kita buat bersama dulu,” lanjutnya dan aku masih tetap bertahan dalam diamku.
Tegar masih mencoba mempertahankan aku dalam peluknya untuk beberapa saat namun pada akhirnya dia melonggarkan pelukannya ketika aku masih saja tak bersuara samasekali. Aku pun langsung mengeluarkan diri dari dekapan kedua tangannya, dan Tegar membiarkanku. Ternyata, dia tak membiarkanku lepas sepenuhnya. Dia kemudian memegang erat pundakku dan menatapku dalam.
“Nina, tatap aku,” pintanya. Aku masih enggan menatap matanya. “Tatap aku, Nina,” pintanya lagi. Aku pun akhirnya melihat dua bola mata itu. bola mata coklat yang membuatku jatuh hati pada seorang bernama Tegar.
“Aku masih sayang kamu, Nina. Tolong, jangan lanjutkan semua ini. Aku mau menghabiskan usiaku denganmu, Sayang,” seluruh kalimat yang terucap dari bibir Tegar terdengar begitu lirih. “Aku masih suamimu, dan kamu akan tetap menjadi istriku sampai kapanpun,” ucapnya kemudian sambil kembali memelukku. Kali ini aku membiarkannya, bahkan membalas pelukannya. Tegar kemudian menggendongku, dan mematikan lampu kamar.
* * *
Setelah melewati tiga minggu mediasi pertama, aku dan Tegar bertemu dan berkonsultasi dengan mediator kami. Tegar menatapku dalam ketika aku menjawab akan tetap menggugat cerai dirinya dan sempat tidak bisa berkata apa-apa, namun setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya aku menyetujui saran mediator kami yang mendukung permintaan Tegar untuk melakukan proses mediasi kedua selama dua minggu.
Entah apa yang harus aku lakukan selama proses mediasi kedua ini. Sebenarnya, walau sampai mediasi kelima pun keputusanku tidak akan berubah. Aku tak mengerti apa gunanya bagi Tegar untuk menunda-nunda proses perceraian kami. Karena sudah hampir seminggu menjalani mediasi kedua ini, dia kembali menjadi Tegar yang dulu, Tegar yang pergi kerja pagi, pulang kerja malam, dan melanjutkan kerjanya di rumah. Bahkan kini Tegar pun terlalu lelah untuk makan malam denganku. Dia melewatkan jam makan malam, dan tertidur di atas meja kerjanya di atas tumpukan-tumpukan kertas.
Akhirnya, kami pun sampai di H-1 akhir dari proses mediasi kedua. Jam di dinding sudah menunjukkan jam 8 malam, dan aku masih duduk di sofa ruang tengah menunggu Tegar pulang. Harus ada kesepakatan yang diambil malam ini, sehingga tak ada lagi perdebatan yang akan terjadi esok hari saat bertemu dengan mediator kami.
Lima belas menit kemudian, bel rumah berbunyi. Tegar masuk ke dalam rumah dengan wajah yang terlihat sangat lelah. Aku menatapnya lekat semenjak ia terlihat di ujung ruang tengah. Walau aku bisa menebak dari ekspresinya dia enggan membahas permasalahan ini, tapi pada akhirnya dia duduk di sofa panjang di samping sofa yang aku duduki.
Tegar menatapku lekat dengan pandangan yang menyiratkan banyak makna. Aku pun balas memandangnya dalam tak berkedip. Tegar akhirnya menghembuskan nafas yang cukup panjang sebelum mulai berbicara.
“Jadi.. Masa mediasi kita sudah habis?”
Aku tak menjawab. Tegar pun diam tak melanjutkan berkata apa-apa. Raut wajahnya menggambarkan jelas ada perundingan hebat yang terjadi dalam kepalanya.
“Nina.. Aku mohon sekali lagi sama kamu, pikirkan lagi tentang perceraian ini.”
Aku menjawab permintaan Tegar dengan mengerutkan dahiku.
“Pasti ada jalan keluar selain perceraian, Nin. Kita bisa pikirkan bersama-sama langkah apa yang akan kita ambil untuk menyelesaikan masalah ini tanpa harus bercerai.”
“Sudah nggak ada waktu untuk berfikir, Gar. Besok hari terakhir mediasi kedua kita, dan besok kita akan memutuskan kalau kita akan berce..”
Nggak! Kita nggak akan pernah bercerai, Nin!” nada tinggi suara Tegar memotong kalimatku yang belum selesai.
“Gar, kita sudah membahas ini berkali-kali dan kita tau, ini jalan terbaik buat kita.”
“Kamu selalu bilang ini jalan yang terbaik, Nin! Mungkin ini terbaik untuk kamu, tapi nggak untuk aku! Pikirkan aku, Nin, jangan cuma pikirkan dirimu sendiri!”
“Apa lagi yang bisa kita lakukan, Gar? Kita sudah menempuh berbagai cara, bahkan kita sudah melalui dua proses mediasi dan itu nggak berhasil sama sekali!”
“Mediasi kita nggak berhasil itu gara-gara kamu, Nin!”
“Apa?? Kamu bilang mediasi kita gagal gara-gara aku??”
“Iya. Mediasi kita gagal karena kamu! Aku sudah mencoba segala cara untuk memperbaiki komunikasi antara kita, tapi apa balasanmu?? Kamu cuma diam, Nin! Kamu cuma diam! Apa yang bisa aku lakukan kalau kamu cuma diam? Bagaimana aku bisa tau apa maumu kalau kamu hanya diam membalas semua caraku untuk bisa berkomunikasi denganmu??” Tegar mulai kehilangan kontrol emosinya, dan berbicara nyaring sambil berdiri.
“Aku capek, Gar berdebat sama kamu! Aku juga sudah capek bilang apa mauku sama kamu! Aku capek kamu tinggal-tinggal terus!”
“Kapan aku ninggalin kamu, Nin?? Kapan? Jawab kapan!”
“Kamu pikir kenapa sampai sekarang kita belum juga punya anak, Gar?! Kenapa?? Karena kamu terlalu sibuk sama pekerjaanmu dan nggak pernah ada waktu buat aku!”
“Apa?” Tegar terdengar tidak percaya dengan apa yang baru saja ku ucap. “Kamu bilang kita nggak punya anak gara-gara aku?? Kamu pikir aku sibuk kerja banting tulang selama ini buat apa, Nin!? Buat kamu! Buat keluarga kita!”
“Tegar, kapan kamu bisa sadar uang nggak bisa beli kebahagiaan?” aku mulai meneteskan air mata. “Kapan kamu sadar kalau aku juga butuh perhatian kamu? Aku nggak butuh semua uangmu, Gar, yang aku butuhin cuma kamu!”
“Aku sudah sebisa mungkin luangin waktuku buat kamu, Nin!”
“Kapan?? Kamu kerja setiap hari dari pagi sampai malam. Bahkan, hari Minggu pun masih ada aja urusan kantor yang harus kamu urus! Kapan kamu ada waktu buat aku??”
“Nin! Kita sudah perdebatkan ini sekian kali, dan urusan kantor nggak ada hub …..”
Kalimat Tegar tak kudengarkan sampai habis. Sebuah rasa pening yang sudah kurasa semenjak menunggu Tegar pulang sudah tak bisa ku tahan lagi, dan semuanya menjadi gelap.
* * *
Aku membuka mataku walau masih terasa begitu berat. Ku pandang sekitar, dan menyadari aku berada di dalam kamarku. Ku coba menebak jam berapa saat ini, namun korden kamarku masih tertutup rapat, dan aku masih begitu malas untuk mengangkat kepalaku menoleh ke jam duduk yang ada di meja samping tempat tidurku.
Tak lama kemudian, Bi Inung masuk ke dalam kamarku membawakan sepotong roti dan segelas susu. Ia meninggalkan nampan yang berisi sarapanku itu di meja samping tempat tidur. Ia kemudian membantuku menyusun bantal di belakangku agar aku bisa duduk bersandar. Kemudian kulihat Tegar masuk ke dalam kamar tak lama setelah Bi Inung keluar.
Ku lirik jam, dan ku dapati jarumnya menunjuk ke angka 9, tapi Tegar tidak menggunakan baju kerjanya. Ia menggunakan kaos oblong dan celana pendeknya. Potongan-potongan kejadian semalam terangkai di otakku ketika Tegar duduk di sampingku dan mengusap kepalaku lembut.
“Masih pusing?” tanyanya. Aku hanya menjawabnya dengan diam. Tegar menghela nafasnya cukup panjang. “Sarapan dulu gih,” lanjutnya sambil mengambilkan piring roti.
“Aku nggak lapar,” tepisku. Terdengar suara piring yang kembali di letakkan di atas nampan kayu. Tegar kemudian beranjak dari tempat tidur, dan duduk kembali di hadapanku dengan membawa sebuah bungkusan kotak kecil.
“Nina, semalam kata dokter kamu harus coba ini pagi-pagi,” ucapnya sambil memberikanku bungkusan kotak kecil berwarna biru. Aku tahu persis apa itu. Aku diam menatapnya sejenak, kemudian beranjak bangun dari tempat tidur. Tegar membantuku bangun, bahkan dia menuntunku sampai ke kamar mandi.
Lima menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dan Tegar sudah menantiku di depan kamar mandi dengan wajah yang entah apa ekspresinya. Aku kemudian menuju tempat tidur dan memperlihatkannya sebuah kotak kecil dengan tanda plus di tengahnya.
Kali ini Tegar yang memandangku diam. Aku pun bingung harus berkata apa. Tegar kemudian menyergapku dengan pelukan yang erat, sangat erat. Dia memelukku diam, tak berkata apa-apa. Kemudian ia melepaskan pelukannya, berlutut di hadapanku. Membenamkan kepalanya di pangkuanku dan berkata lirih, “Nina, izinkan aku untuk tetap hidup bersamamu, untuk bisa merawat dan melihat buah hati kita tumbuh besar. Hingga nanti kita juga akan melihat cucu-cucu kita berlari kecil dan tertawa lepas. Aku rela menukar semua yang aku punya dengan satu kata iya dari kamu.”
Bibirku ini terkunci rapat tak mampu mengeluarkan satu patah katapun. Aku hanya memandang bahu Tegar yang sedikit terguncang oleh isakan kecil. Bagaimanapun, aku dan Tegar mempunyai sebuah janji untuk bertemu dengan mediator kami siang ini, untuk memberitahunya sebuah keputusan bulat yang sudah sangat aku yakini.
* * *
Setahun setelah sidang perceraianku berlangsung, hidupku terasa lebih ringan. Tidak ada lagi perdebatan, dan tak ada lagi beban yang terasa begitu berat yang harus ku gendong di pundakku. Kini, semua terasa begitu indah dan bahagia.
Terlebih lagi dengan hadirnya Saka, putra hasil pernikahanku dengan Tegar. Ya, pada akhirnya Tuhan mempercayakan aku dan Tegar untuk menjadi orang tua di detik-detik terakhir bagi kami untuk mendengar putusan hakim.
Hari ini, putra pertamaku yang hampir seluruh wajahnya mirip aku itu genap berusia satu tahun. Sebagai buah hati yang paling aku sayang, adalah sesuatu yang wajar jika aku menyiapkan sebuah pesta spesial di usianya yang pertama ini.
Rumahku sudah dipenuhi dengan balon berwarna-warni dan anak-anak kecil dari tetangga sekitar rumahku. Banyak pula anggota keluarga dan sanak saudara yang datang. Aku pun harus rela sibuk karena harus menerima kado sambil menggendong Saka. Tak lama kemudian aku melihat Tegar turun dari mobilnya sambil membawa sebuah kotak putih dengan pita berwarna biru di atasnya. Dia menghampiriku dan mencium Saka.
“Boleh aku yang menggendong Saka? Jadi kamu bisa letakkan kue ulang tahun ini di sana,” ucapnya. Aku pun memberikan Saka kepada Tegar dan meletakkan kue ulang tahun di meja yang ada di depan kerumunan anak kecil. Tak lama kemudian, Lina adikku, yang bertugas menjadi MC acara pun mulai menyapa anak-anak kecil yang duduk di depannya. Saka yang sudah diambil Lina sebelumnya dari Tegar,duduk di belakang kue ulang tahunnya dan tampak begitu bahagia ketika semua tamu menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuknya.
Aku ikut bernyanyi bersama Tegar yang berdiri di sampingku sambil bertepuk tangan. Tak lama kemudian, terdengar bunyi handpohe dari saku baju Tegar. Tegar mengambilnya dan melihat layar handphone-nya. Aku menatap lekat Tegar, dan Tegar pun memencet tombol merah pada handpohone-nya.
“Iya, Mama sayang.. Papa tau kok harus apa,” ucapnya sambil mencium pipi kananku. Aku hanya tersenyum sambil meneruskan bernyanyi. Akhirnya Tegar bisa mengerti dengan aksi diamku.
E N D

 Aku dan Tegar memang bertemu dengan mediator kami siang itu setelah mengetahui aku mengandung anak pertama kami. Kami akhirnya setuju untuk berdamai dan melanjutkan kehidupan pernikahan kami demi anak yang sedang aku kandung. Setelah menandatangani surat-surat, kami pun kembali ke persidangan dan menemui hakim untuk mencabut semua gugatan cerai yang sudah aku layangkan sebelumnya.
Tegar pun akhirnya mengangkat seorang pegawainya untuk menjadi wakilnya dan memberikannya 50% tugasnya. Dia tak lagi menggunakan hari libur dan hari Minggunya untuk bekerja. Sepanjang harinya dia habiskan bersamaku, menjagaku ketika aku masih mengandung.
Di tanggal 09 Oktober 2011, Saka lahir. Kami sepakat memberinya nama Sakata Tegar Wicaksana. Sakata berasal dari bahasa Arab yang berati diam, Tegar berarti kuat yang juga diambil dari nama ayahnya, dan Wicaksana berarti bijaksana. Harapanku dan Tegar, putra pertama kami ini mampu berdiri kuat dalam perjalanan hidupnya dan mampu mengambil keputusan dengan bijaksana, walau hanya dalam diam. Seperti apa yang pernah Mama dan Papa-nya dulu pernah lakukan.


Yogyakarta,  16 Nov 2011
02:06

0 comments:

Post a Comment