Monday 23 January 2012

Reason


Reason

“Hhhh.. Hhhh.. Hhh..” nafas beratku memburu satu-satu. Air mataku sudah menetes membanjiri wajahku, bercampur dengan ratusan tetes keringat. Aku mempertajam pandanganku. Tapi, sia-sia.  Pandangan di depanku tetap berwarna hitam, gelap!
‘Brak!’
“Di mana kamu, Sayang? Ayolah, jangan sembunyi.. Percuma kamu sembunyi dari aku. Aku pasti bisa mencium wangi tubuhmu. Hahaha..” suara pintu yang terbuka dan suara berat anak laki-laki itu semakin membuatku mandi keringat.
Aku memepetkan badanku di sebuah lemari kayu berdebu. Berharap, gelap bisa membantuku berlari dari bahaya yang membuntutiku saat ini.
Aku terus merayap dari perabotan usang yang satu ke perabotan yang lainnya. Berlomba dengan waktu, bermain dengan gelap. Air mata dan keringat terus menetes satu-satu mengguyur tubuhku.
Aku sudah merayap sampai di depan pintu rumah tua ini. Tinggal satu langkah lagi aku bisa berlari keluar dan lolos dari ini semua. Tapi sesuatu yang dingin dan tajam di leherku, menahan gerak kakiku yang sudah siap berlari.
“Mau ke mana kamu!? Aku sudah bilang kan, kamu nggak akan bisa lari dari aku!” ucap Randi, sambil menempelkan pisau di leherku. Aku terdesak mundur.
“Hhhh.. Ran.. Please.. Jangan lakukan ini.. Kamu sayang aku kan..?”
“Justru karena aku sayang sama kamu, makanya aku lakukan ini..!”
“Jangan, Ran! Aku mohon sama kamu..!” langkahku terhenti oleh dinding rumah. Mentok! Nggak bisa lari ke mana-mana lagi.
“Udahlah! Enjoy aja, Sayang.. Nikmati permainan ini. Hahaha..”
“Jangan, Ran!”
‘Brek!’
Randi merobek pakaianku dengan pisau yang ada di tangannya, dan kemudian kembali menodongkannya ke leherku. Aku memejamkan mata, menahan perih!

* * *
“Nduk..” suara lembut ibu memanggilku dari luar. Aku yang lagi berdiri di depan jendela kamarku menikmati sejuknya angin sepoi-sepoi, tak menjawabnya. Pasti tak lama lagi ibu masuk kamarku. Itu sudah jadi kebiasaannya kalau aku dipanggil tak menyahut.
Nduk, ini lho, ibu buatkan jilbab buat kamu. Nih lihat, dulu. Cantik toh?” ucap ibu dengan logat Jawanya yang kental. Aku tak menoleh, cuek. “Lha.. Diajak ngomong kok malah dicuekin, toh? Ran, lihat dulu..” ibu menepuk pundakku.
“Bu! Udah berapa kali sih, aku bilang sama Ibu, aku nggak mau pakai jilbab! Kenapa sih ibu selalu maksa aku buat pakai jilbab!? Aku masih muda, Bu! Aku juga ketua cheerleader di sekolah. Mana ada cheerleader pakai jilbab!” ucapku kasar sambil menepis tangan ibu.
“Rani.. Anak cewek itu bagusnya pakai jilbab. Coba nih.. Tuh kan.. Kamu tambah cantik aja kalau pakai jilbab. Ibu sengaja buat dengan warna kesukaanmu. Warna ini memang cocok sama kulit putihmu,” ucapnya sambil memakaikan jilbab warna pink kepadaku.
“Ibu! Sekali lagi aku kasih tau, ya! Aku nggak mau pakai yang beginian!” ucapku lagi sambil menarik jilbab yang baru saja dipakaikan ibu di kepalaku dan membantingnya ke lantai. Aku kemudian menyambar handuk pink kesayanganku dan keluar kamar.
“Ya Allah, Nduk.. Tega kamu sama ibu..” samar-samar suara ibu tertangkap kupingku. Tapi aku masa bodoh, dan terus melangkah ke kamar mandi. Gerah..

“Kamu mau ke mana, Rani?” tanya ibu ketika melihatku keluar kamar sudah rapi.
“Mau jalan, Bu sama Randi. Boleh, ya?” tanyaku.
“Boleh. Asal kamu mau pakai jilbab. Kalau kamu nggak pakai jilbab, ibu nggak izinkan kamu, Rani..”
Aku menarik nafas panjang. Lagi-lagi ibu menyuruhku menggunakan jilbab.
“Ya ampun, Ibu.. Ibu nggak ngerasa kalau udaranya lagi panas?? Kalau aku pakai jilbab, tambah panas dong, Bu. Please deh..”
“Terserah kamu. Kamu mau jalan atau nggak. Lagian kan kamu tinggal pakai jilbab yang sudah ibu buatkan itu. Baju kamu kan sudah lengan panjang, Ran. Warnanya cocok lagi dengan warna jilbab yang ibu buatkan itu..” ucap ibu santai. Aku diam berfikir.
“Kamu mau jalan nggak, Rani..?” tanya ibu lagi. Aku menghembuskan nafas panjang. Tidak mungkin aku membatalkan janjiku buat jalan sama Randi. Bisa diputuskannya aku!
“Ya sudah. Aku pakai jilbabnya..” ucapku sambil masuk lagi ke kamar dan mengambil jilbab pink yang disimpan ibu di lemari bajuku.
“Kamu jadi tambah cantik, Ran..” ucapnya tersenyum melihatku pakai jilbab.
“Aku pergi, Bu,” ucapku langsung. Aku malas berlama-lama mendengar segala decak kagumnya kalau lihat aku pakai jilbab. Aku bergegas keluar gang. Randi sudah menunggu.
“Hei!” ucapku sambil menepuk pundak Randi yang terlihat keren di atas motor besarnya. Randi adalah pacarku. Dia cakep, ketua tim basket sekolahku. Semua cewek di sekolahku berebut jadi pacarnya. Tapi akhirnya dia memilihku, sang ketua cheerleader yang selalu menyemangati dia waktu tanding basket untuk menjadi pacarnya.
“Kamu..?” ucapnya kaget waktu melihatku. “Ya ampun! Ngapain pakai yang kayak ginian!?” tanyanya dengan nada nggak suka. Aku yakin ini pasti terjadi.
“Dipaksa ibu, Sayang. Kalau nggak pakai jilbab aku nggak boleh jalan..”
“Ah! Lepas deh, Yank! Rambut indahmu tuh jadi nggak keliatan. Lagian kalau pakai jilbab, nanti kamu harus pakai baju yang ukurannya lebih besar dari badanmu tau! Kamu jadi nggak keliatan seksi, Yank. Nggak cantik!”
“Iya deh, Yank.. Nih aku lepas. Biar aku keliatan cantik di mata kamu,” ucapku sambil tersenyum dan melepaskan jilbabku, kemudian membuangnya entah ke mana.
“Nah gitu dong, Yank..! Eh, besok kita jadi ke pesta ulang tahunnya Nino kan?”
“Jadi dong, Yank! Masa nggak jadi sih?”
“Oke.. Tapi kamu jangan pakai jilbab lagi ya??”
“Siipp..!!” ucapku sambil mengacungkan kedua jempolku. Randi kembali tersenyum.
“Yaudah. Pergi, yuk!” ajaknya. Aku segera naik ke atas jok motornya dan duduk memeluk tubuhnya, atau nyendok kata anak-anak gaul. Randi pun langsung menjalankan  motornya.

Aku bergaya di depan cermin yang tertempel di depan pintu lemari bajuku. Menatap bayangan yang terpantul di cermin. Seorang gadis ramping dengan rambut panjang hitam kemilau yang tergerai.
“Ah, Randi memang benar. Aku memang akan terlihat lebih cantik kalau nggak pakai jilbab..” ucapku di dalam hati sambil merapikan rambutku. Kemudian aku bercermin sekali lagi, menatap lekat tubuhku.
Tubuh rampingku terbalut sebuah gaun terusan ketat pendek berwana pink. Memamerkan segala bentuk lekuk tubuhku dan indah kakiku. Aku tersenyum saat melilhat penampilanku sudah sempurna. Aku melihat jam, dan kemudian bergegas keluar kamar.
“Rani..??” ucap ibu dengan nada heran. Ah! Pasti dia mau melarangku pergi dengan baju seperti ini.
“Kamu mau ke mana, Nak?? Kenapa pakai baju kayak gitu? Nggak baik cewek jalan malam pakai baju pendek kayak gini..” ucapnya mulai bawel dengan penampilanku.
“Bu, aku mau pergi ke ulang tahun temanku. Nggak mungkin kan aku pakai jilbab?? Bisa diketawain aku, Bu..!”
“Tapi, kamu kan bisa pakai celana panjang dan kaos, Nak? Nggak pakai baju yang membuka aurat kayak gini.”
“Ya ampun, Bu. Pakaian kayak gini memang pantas kok untuk ke pesta. Udah deh, Bu. Nggak usah cerewet! Aku pergi. Randi udah nunggu,” ucapku sambil melangkah keluar.
“Rani! Ibu nggak izinkan kamu pergi!” ucap ibu sambil mencekal lenganku.
“Apa-apaan sih, Bu!? Udah, deh! Aku mau pergi!” ucapku sambil menampik tangannya kasar.
“Rani! Penampilanmu yang seperti ini bisa mengundang bahaya! Kamu nggak boleh pergi!” tahan ibu lagi. Air mulai mengalir di kedua pipinya yang mulai terlihat keriput.
“Terserah! Ibu mau nggak izinin kek, ibu mau apa kek, aku nggak perduli! Aku mau pergi, Bu! Aku sudah ditunggu Randi!” ucapku sambil mendorong tubuh tuanya.
“Rani, ibu mohon.. Ibu nggak mau terjadi apa-apa sama kamu, Nak..! Rani..!” teriak ibu yang jatuh tersungkur. Aku tak memperdulikannya. Aku berjalan cepat keluar gang. Randi sudah menungguku!
“Kok lama, Sayang?” tanya Randi waktu melihatku muncul di mulut gang. Dia tercengang saat melihat penampilanku. Dia tak berkedip selama beberapa detik mellihat penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Kamu cantik banget, Rani.. Kamu cantik banget..” ucapnya memuji.
“Pacarmu ini memang cantik, Sayang. Udah ah! Aku jadi malu. Pergi yuk!” ucapku sambil naik ke boncengan motornya dan memeluknya manja dari belakang.
Randi menjalankan motornya menuju rumah Nino.

Aku menggandeng Randi masuk ke dalam rumah yang sudah ramai itu. Tidak terlalu banyak hiasan memang. Maklumlah, ini kan ulang tahun anak cowok. Tidak perlu hiasan, yang penting kumpul dan makan!
Suasana yang hiruk pikuk tiba-tiba berubah secara drastis saat aku dan Randi masuk ke dalam rumah. Orang-orang yang sedang berkumpul itu langsung menujukan arah tatapan mereka kepadaku.
Tatapan kagum dari anak lelaki yang tak berkedip memandangku, dan tatapan iri dari anak perempuan terhadapku, semakin menambah kepercayaan diriku dengan penampilan yang seperti ini. Aku merasa istimewa.  Aku yakin, kalau aku pakai jilbab seperti kata ibu, hal ini tak mungkin terjadi.
“Hei, tamu istimewaku datang..!” seorang anak lelaki menghampiri kami.
“Hei, No. Met ultah ya!” ucap Randi sambil menjabat tangan Nino si empunya acara sweet seventeen yang bisa dibilang meriah ini.
“Yo’i! Thanks, Bro..” ucapnya. “Waow! Ngerampok di istana mana, Ran? Nggak dapat hartanya dapat tuan putrinya!” ucap Nino dengan tatapan kagum kepadaku.
“Bisa aja, hehe..” ucapku tersenyum malu. “Met ultah ya...”
Makasih, Tuan Putri,” ucapnya sambil berjongkok hendak mencium tanganku. Tapi kemudian ruang geraknya tertahan.
“Eits! Enak aja! Punya gua nih!” ucap Randi.
“Hahaha.. Maaf, cuy! Lupa..” jawabnya cengengesan. “Kamu cantik banget, Rani.. Randi tau aja barang bagus..!” aku semakin melambung mendengar pujian dari Nino.
 “Yuk, dimakan ya, hidangannya. Aku mau ketemu sama yang lain dulu,” ucap Nino berpamitan. Kemudian dia pergi. Aku dan Randi menyantap hidangan yang ada.
Rumah Nino mulai sepi. Satu per satu tamu mulai beranjak pulang. Sama halnya dengan aku dan Randi. Setelah pamit pulang dengan Nino, kami pun keluar rumah menuju motor dan bergegas pulang.
Randi menjalankan motornya pelan di sebuah jalan yang tidak aku kenal. Aku sudah tanya sama dia, kenapa lewat jalan ini. Aku tak pernah kenal sama jalan ini sebelumnya. Dan dia bilang, ini jalan pintas ke rumahku. Dia baru coba jalan ini malam kemarin, sewaktu dia pulang mengantarkan aku setelah jalan.
“Sayang.. Kok jalannya semakin sepi aja sih? Aku takut nih..” ucapku sambil mengeratkan pelukanku kepadanya.
“Tenang, Sayang.. Kan ada aku,” jawabnya. Aku pun merasa sedikit tenang mendengar kata-katanya itu. Tiba-tiba motornya mati di tengah jalan.
“Kenapa, Yank?” tanyaku.
Nggak tau nih. Kamu coba turun dulu deh, Yank..”
Aku melompat turun dari motornya. Randi tampak sedang mencoba menyalakan motornya kembali. Aku menatap sekelilingku. Gelap! Pandanganku jadi nggak terlalu jelas. Yang bisa kulihat, hanya barisan-barisan pohon dan rumah yang jaraknya berjauhan antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya.
Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang memelukku dari belakang.
“Sayang.. Kamu menggoda banget malam ini.. Aku udah nggak tahan..” nada suara Randi terdengar aneh di telingaku. Aku melepaskan pelukannya.
“Apa-apaan sih, Yank?! Udah nyala belum motornya? Aku mau pulang..”
“Kenapa buru-buru, Sayang? Kita cuma berdua di sini.. Aku masih mau menikmati waktu berdua denganmu..” ucapnya sambil kembali memeluk tubuhku. Aku sempat membiarkan tangannya menyentuh beberapa bagian tubuhku. Tapi kemudian aku tersadar.
Nggak! Aku mau pulang sekarang, Randi!” ucapku melepaskan pelukannya.
“Ayolah, Yank.. Katanya kamu sayang aku..? Katanya kamu cinta aku..? Buktikan!”
“Iya aku sayang sama kamu. Tapi nggak harus dengan cara itu kan aku buktikan rasa sayangku ke kamu?? Antar aku pulang sekarang! Udah malam, ibu pasti nungguin aku!”
“Tapi aku mau kamu buktikan cintamu dengan cara itu!” ucap Randi menarik tubuhku kasar. “Kamu nggak boleh nolak apa mauku, Rani..!” lanjutnya dengan seringaian seram yang seketika merubah wajahnya yang tampan itu.
“Aku nggak mau, Randi!” teriakku sambil melepaskan cengkraman tangannya. “Tolong..!!” teriakku sambil berlari mencoba mencari pertolongan.
“Hahaha..! Percuma! Percuma kamu teriak-teriak! Nggak ada yang bisa dengar teriakanmu!” ucap Randi sambil mengerjarku.
Aku lari tak tentu arah. Masuk ke dalam hutan yang gelap, dan terus berlari.
Nggak perlu lari, Rani! Kamu nggak akan bisa lari dari aku!” teriak Randi. Aku tak memperdulikannya. Aku hanya terus berlari dan berlari.
Hingga akhirnya aku menemukan sebuah rumah yang terlihat tua dan gelap. Aku berlari ke arahnya dan menggedor pintunya. Aku berharap ada orang ada di dalam rumah itu dan bisa menolongku.
Tak ada sahutan dari dalam, dan Randi pun semakin dekat denganku. Aku mendorong-dorong pintunya, dan ternyata pintu tua itu tak terkunci. Aku masuk ke dalam rumah usang yang gelap itu.
Aku mencari-cari tempat untuk bersembunyi. Akhirnya, aku menemukan sebuah lemari tua berdebu yang berada di pojokkan rumah. Aku berlari ke arahnya dan bersembunyi di baliknya.
* * *
Randi bangkit dari atas tubuhku. Aku menghembuskan satu-per-satu nafas beratku. Sungguh, aku tak pernah menyangka dia setega ini sama aku. Dulu aku fikir dia jodohku. Kami selalu cocok dalam hal apa saja. Nama kami pun tak beda jauh. Rani dan Randi. Sama-sama dipanggil “Ran”.
“Ha.. Ha.. Makasih banget, Ran..” ucapnya tertawa sambil menggunakan bajunya. Aku beringsut pelan mengambil pakaianku yang telah robek dan mencoba menutupi tubuhku. “Mau aku antar pulang nggak, Sayang..?” tanyanya sambil mencolek daguku. Aku menepis tangannya.
“Yaudah kalau nggak mau.. Daaahhh..” ucapnya santai sambil ngeloyor pergi meninggalkanku di rumah tua ini. Aku tak tahu lagi harus melakukan apa. Aku cuma bisa menangis dan meratapi apa yang telah terjadi pada diriku.
Seketika bayangan ibu berkelebat di benakku. Oh ibu.. Aku menyesal tidak mendengarkan semua perkataanmu. Sekarang aku tahu, kenapa engkau begitu keras menyuruhku menggunakan jilbab.
Aku mengerti apa alasannya, Bu.. Aku baru mengerti sekarang. Bukan hanya karena tuntutan agama, tapi juga untuk melindungi diriku.
Oh ibu.. Anakmu ini sudah tak berarti lagi. Anakmu ini sudah kehilangan hal yang paling mahal dari dirinya. Aku bagaikan baju bekas rusak tak ber-merk yang dijual murah di pinggiran jalan. Tidak ada orang yang mau membelinya. Jangankan membeli, menoleh pun tak ada yang sudi kurasa. Aku sudah tak berarti, Bu..
Aku mencari sesuatu. Sesuatu yang bisa kugunakan untuk menutupi tubuhku yang hina ini. Tak ingin lagi rasanya aku melihat tubuhku yang telah ternoda ini. Aku membuka lemari tua reyot yang ada di pojokan rumah. Berharap ada kain yang bisa kugunakan, walau kecil kemungkinan ada baju yang tertinggal di rumah yang sepertinya sudah lama tak berpenghuni ini.
Tapi, entah Tuhan masih sayang padaku atau apa, aku menemukan sebuah kain panjang. Aku tak tahu itu baju atau apa. Aku tak dapat melihat jelas karena gelap. Yang aku tahu dari indera perabaanku, itu seperti daster panjang yang tua dan sudah pasti kotor.
Aku tak peduli seberapa tua dan kotornya baju yang ada di genggamanku itu. Langsung saja kukenakan dan aku ingin segera pergi dari tempat ini. Aku berjalan tertatih menuju pintu. Tiba-tiba kakiku terkait sebuah kain di lantai. Kuambil saja kain itu dan kubawa keluar rumah.
Di luar rumah, terang rembulan menembus pepohonan dan membantu penglihatanku. Aku mengangkat tangan kananku dan melihat kain apa yang menyangkut di kakiku tadi. Kakiku lemas dan aku jatuh terduduk ketika melihat kain apa yang ada di tanganku sekarang. Jilbab berwarna pink yang mirip sekali dengan buatan ibu yang kubuang kemarin malam. Hanya bedanya, milikku yang dibuatkan ibu masih bagus dan yang ini sudah lusuh dan bernoda.
“Maafkan Rani, Bu.. Rani terlambat mengerti apa maksud ibu.. Maafkan Rani..” bibirku bergerak pelan. Panasnya air mata yang menetes terasa jelas membara mengalir di kedua pipiku.
Belum lagi rasa maluku yang semakin membuat diriku merasa kecil. Aku malu terhadap ibu, kepada Tuhan, dan lebih-lebih kepada sebuah kain kecil yang ada di tanganku ini. Aku sungguh malu pada kain ini yang kemarin tak ada artinya sedikitpun di mataku. Tapi sekarang, kain ini memiliki sejuta makna yang tak dapat kuungkapkan.
Segera saja kupakai jilbab lusuh itu. Aku bangkit, menghapus air mataku, dan mulai berjalan. Aku harus pulang. Aku harus bertemu ibu dan mencium kedua kakinya untuk meminta maaf.  
Maafkan aku, Ibu. Walau kini aku pulang dengan menggendong aib besar di punggungku, tapi aku sangat berharap engkau akan memberiku kesempatan kedua. Sungguh aku bersumpah, tak akan pernah aku sia-siakan lagi seperti kemarin, Ibu. Tunggu aku di rumah. Aku akan pulang dan menjadi Rani yang “cantik” seperti yang engkau inginkan.


tulisan ini pernah diikutkan lomba dan kalah karena endingnya bunuh diri haha.
yang di posting ini sudah melalui beberapap revisi :)

0 comments:

Post a Comment