Reason
“Hhhh.. Hhhh.. Hhh..” nafas beratku memburu satu-satu. Air mataku sudah
menetes membanjiri wajahku, bercampur dengan ratusan tetes keringat. Aku mempertajam
pandanganku. Tapi, sia-sia. Pandangan di
depanku tetap berwarna hitam, gelap!
‘Brak!’
“Di mana kamu, Sayang? Ayolah, jangan sembunyi.. Percuma kamu sembunyi
dari aku. Aku pasti bisa mencium wangi tubuhmu. Hahaha..” suara pintu yang
terbuka dan suara berat anak laki-laki itu semakin membuatku mandi keringat.
Aku memepetkan badanku di sebuah lemari kayu berdebu. Berharap, gelap
bisa membantuku berlari dari bahaya yang membuntutiku saat ini.
Aku terus merayap dari perabotan usang yang satu ke perabotan yang
lainnya. Berlomba dengan waktu, bermain dengan gelap. Air mata dan keringat
terus menetes satu-satu mengguyur tubuhku.
Aku sudah merayap sampai di depan pintu rumah tua ini. Tinggal satu
langkah lagi aku bisa berlari keluar dan lolos dari ini semua. Tapi sesuatu
yang dingin dan tajam di leherku, menahan gerak kakiku yang sudah siap berlari.
“Mau ke mana kamu!? Aku sudah bilang kan, kamu nggak akan bisa lari
dari aku!” ucap Randi, sambil menempelkan pisau di leherku. Aku terdesak mundur.
“Hhhh.. Ran.. Please.. Jangan
lakukan ini.. Kamu sayang aku kan..?”
“Justru karena aku sayang sama kamu, makanya aku lakukan ini..!”
“Jangan, Ran! Aku mohon sama kamu..!” langkahku terhenti oleh dinding rumah.
Mentok! Nggak bisa lari ke mana-mana lagi.
“Udahlah! Enjoy aja, Sayang..
Nikmati permainan ini. Hahaha..”
“Jangan, Ran!”
‘Brek!’
Randi merobek pakaianku dengan pisau yang ada di tangannya, dan
kemudian kembali menodongkannya ke leherku. Aku memejamkan mata, menahan perih!
* * *
“Nduk..” suara lembut ibu memanggilku dari luar. Aku yang lagi berdiri di depan
jendela kamarku menikmati sejuknya angin sepoi-sepoi, tak menjawabnya. Pasti
tak lama lagi ibu masuk kamarku. Itu sudah jadi kebiasaannya kalau aku
dipanggil tak menyahut.
“Nduk, ini lho, ibu buatkan
jilbab buat kamu. Nih lihat, dulu. Cantik toh?”
ucap ibu dengan logat Jawanya yang kental. Aku tak menoleh, cuek. “Lha.. Diajak ngomong kok malah dicuekin,
toh? Ran, lihat dulu..” ibu menepuk
pundakku.
“Bu! Udah berapa kali sih, aku bilang sama Ibu, aku nggak mau pakai jilbab! Kenapa sih ibu
selalu maksa aku buat pakai jilbab!? Aku masih muda, Bu! Aku juga ketua cheerleader di sekolah. Mana ada cheerleader pakai jilbab!” ucapku kasar
sambil menepis tangan ibu.
“Rani.. Anak cewek itu bagusnya pakai jilbab. Coba nih.. Tuh kan.. Kamu
tambah cantik aja kalau pakai jilbab. Ibu sengaja buat dengan warna kesukaanmu.
Warna ini memang cocok sama kulit putihmu,” ucapnya sambil memakaikan jilbab
warna pink kepadaku.
“Ibu! Sekali lagi aku kasih tau,
ya! Aku nggak mau pakai yang
beginian!” ucapku lagi sambil menarik jilbab yang baru saja dipakaikan ibu di
kepalaku dan membantingnya ke lantai. Aku kemudian menyambar handuk pink kesayanganku dan keluar kamar.
“Ya Allah, Nduk.. Tega kamu
sama ibu..” samar-samar suara ibu tertangkap kupingku. Tapi aku masa bodoh, dan
terus melangkah ke kamar mandi. Gerah..
“Kamu mau ke mana, Rani?” tanya ibu ketika melihatku keluar kamar sudah
rapi.
“Mau jalan, Bu sama Randi. Boleh, ya?” tanyaku.
“Boleh. Asal kamu mau pakai jilbab. Kalau kamu nggak pakai jilbab, ibu nggak izinkan kamu, Rani..”
Aku menarik nafas panjang. Lagi-lagi ibu menyuruhku menggunakan jilbab.
“Ya ampun, Ibu.. Ibu nggak ngerasa kalau udaranya lagi panas??
Kalau aku pakai jilbab, tambah panas dong, Bu. Please deh..”
“Terserah kamu. Kamu mau jalan atau nggak.
Lagian kan kamu tinggal pakai jilbab yang sudah ibu buatkan itu. Baju kamu kan
sudah lengan panjang, Ran. Warnanya cocok lagi dengan warna jilbab yang ibu
buatkan itu..” ucap ibu santai. Aku diam berfikir.
“Kamu mau jalan nggak,
Rani..?” tanya ibu lagi. Aku menghembuskan nafas panjang. Tidak mungkin aku membatalkan
janjiku buat jalan sama Randi. Bisa diputuskannya aku!
“Ya sudah. Aku pakai jilbabnya..” ucapku sambil masuk lagi ke kamar dan
mengambil jilbab pink yang disimpan
ibu di lemari bajuku.
“Kamu jadi tambah cantik, Ran..” ucapnya tersenyum melihatku pakai
jilbab.
“Aku pergi, Bu,” ucapku langsung. Aku malas berlama-lama mendengar segala
decak kagumnya kalau lihat aku pakai jilbab. Aku bergegas keluar gang. Randi sudah
menunggu.
“Hei!” ucapku sambil menepuk pundak Randi yang terlihat keren di atas
motor besarnya. Randi adalah pacarku. Dia cakep, ketua tim basket sekolahku.
Semua cewek di sekolahku berebut jadi pacarnya. Tapi akhirnya dia memilihku, sang ketua cheerleader yang selalu menyemangati dia
waktu tanding basket untuk menjadi pacarnya.
“Kamu..?” ucapnya kaget waktu melihatku. “Ya ampun! Ngapain pakai yang kayak ginian!?” tanyanya dengan nada nggak
suka. Aku yakin ini pasti terjadi.
“Dipaksa ibu, Sayang. Kalau nggak pakai jilbab aku nggak boleh jalan..”
“Ah! Lepas deh, Yank! Rambut
indahmu tuh jadi nggak keliatan. Lagian
kalau pakai jilbab, nanti kamu harus pakai baju yang ukurannya lebih besar dari
badanmu tau! Kamu jadi nggak keliatan seksi, Yank. Nggak cantik!”
“Iya deh, Yank.. Nih aku
lepas. Biar aku keliatan cantik di mata kamu,” ucapku sambil tersenyum dan
melepaskan jilbabku, kemudian membuangnya entah ke mana.
“Nah gitu dong, Yank..! Eh, besok kita jadi ke pesta
ulang tahunnya Nino kan?”
“Jadi dong, Yank! Masa nggak jadi sih?”
“Oke.. Tapi kamu jangan pakai jilbab lagi ya??”
“Siipp..!!” ucapku sambil mengacungkan kedua jempolku. Randi kembali
tersenyum.
“Yaudah. Pergi, yuk!” ajaknya. Aku segera naik ke atas jok motornya dan
duduk memeluk tubuhnya, atau nyendok
kata anak-anak gaul. Randi pun langsung menjalankan motornya.
Aku bergaya di depan cermin yang tertempel di depan pintu lemari
bajuku. Menatap bayangan yang terpantul di cermin. Seorang gadis ramping dengan
rambut panjang hitam kemilau yang tergerai.
“Ah, Randi memang benar. Aku
memang akan terlihat lebih cantik kalau nggak pakai jilbab..” ucapku di dalam hati sambil merapikan rambutku. Kemudian aku bercermin
sekali lagi, menatap lekat tubuhku.
Tubuh rampingku terbalut sebuah gaun terusan ketat pendek berwana pink. Memamerkan segala bentuk lekuk
tubuhku dan indah kakiku. Aku tersenyum saat melilhat penampilanku sudah
sempurna. Aku melihat jam, dan kemudian bergegas keluar kamar.
“Rani..??” ucap ibu dengan nada heran. Ah! Pasti dia mau melarangku
pergi dengan baju seperti ini.
“Kamu mau ke mana, Nak?? Kenapa pakai baju kayak gitu? Nggak baik cewek jalan malam pakai baju pendek kayak gini..” ucapnya mulai bawel dengan
penampilanku.
“Bu, aku mau pergi ke ulang tahun temanku. Nggak mungkin kan aku pakai jilbab??
Bisa diketawain aku, Bu..!”
“Tapi, kamu kan bisa pakai celana panjang dan kaos, Nak? Nggak pakai
baju yang membuka aurat kayak gini.”
“Ya ampun, Bu. Pakaian kayak gini memang pantas kok untuk ke pesta.
Udah deh, Bu. Nggak usah cerewet! Aku pergi. Randi udah nunggu,” ucapku sambil
melangkah keluar.
“Rani! Ibu nggak izinkan kamu pergi!” ucap ibu sambil mencekal
lenganku.
“Apa-apaan sih, Bu!? Udah, deh! Aku mau pergi!” ucapku sambil menampik
tangannya kasar.
“Rani! Penampilanmu yang seperti ini bisa mengundang bahaya! Kamu nggak boleh pergi!” tahan ibu lagi. Air
mulai mengalir di kedua pipinya yang mulai terlihat keriput.
“Terserah! Ibu mau nggak
izinin kek, ibu mau apa kek, aku nggak perduli! Aku mau pergi, Bu! Aku sudah ditunggu Randi!” ucapku
sambil mendorong tubuh tuanya.
“Rani, ibu mohon.. Ibu nggak
mau terjadi apa-apa sama kamu, Nak..! Rani..!” teriak ibu yang jatuh tersungkur.
Aku tak memperdulikannya. Aku berjalan cepat keluar gang. Randi sudah
menungguku!
“Kok lama, Sayang?” tanya Randi waktu melihatku muncul di mulut gang. Dia
tercengang saat melihat penampilanku. Dia tak berkedip selama beberapa detik mellihat
penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Kamu cantik banget, Rani.. Kamu cantik banget..” ucapnya memuji.
“Pacarmu ini memang cantik, Sayang. Udah ah! Aku jadi malu. Pergi yuk!”
ucapku sambil naik ke boncengan motornya dan memeluknya manja dari belakang.
Randi menjalankan motornya menuju rumah Nino.
Aku menggandeng Randi masuk ke dalam rumah yang sudah ramai itu. Tidak
terlalu banyak hiasan memang. Maklumlah, ini kan ulang tahun anak cowok. Tidak perlu hiasan, yang penting
kumpul dan makan!
Suasana yang hiruk pikuk tiba-tiba berubah secara drastis saat aku dan
Randi masuk ke dalam rumah. Orang-orang yang sedang berkumpul itu langsung
menujukan arah tatapan mereka kepadaku.
Tatapan kagum dari anak lelaki yang tak berkedip memandangku, dan tatapan
iri dari anak perempuan terhadapku, semakin menambah kepercayaan diriku dengan penampilan
yang seperti ini. Aku merasa istimewa. Aku yakin, kalau aku pakai jilbab seperti kata
ibu, hal ini tak mungkin terjadi.
“Hei, tamu istimewaku datang..!” seorang anak lelaki menghampiri kami.
“Hei, No. Met ultah ya!” ucap
Randi sambil menjabat tangan Nino si empunya
acara sweet seventeen yang bisa
dibilang meriah ini.
“Yo’i! Thanks, Bro..” ucapnya. “Waow! Ngerampok di istana mana, Ran? Nggak dapat hartanya dapat tuan
putrinya!” ucap Nino dengan tatapan kagum kepadaku.
“Bisa aja, hehe..” ucapku tersenyum malu. “Met ultah ya...”
“Makasih, Tuan Putri,”
ucapnya sambil berjongkok hendak mencium tanganku. Tapi kemudian ruang geraknya
tertahan.
“Eits! Enak aja! Punya gua nih!”
ucap Randi.
“Hahaha.. Maaf, cuy! Lupa..”
jawabnya cengengesan. “Kamu cantik banget, Rani.. Randi tau aja barang bagus..!”
aku semakin melambung mendengar pujian dari Nino.
“Yuk, dimakan ya, hidangannya.
Aku mau ketemu sama yang lain dulu,” ucap Nino berpamitan. Kemudian dia
pergi. Aku dan Randi menyantap hidangan yang ada.
Rumah Nino mulai sepi. Satu per satu tamu mulai beranjak pulang. Sama
halnya dengan aku dan Randi. Setelah pamit pulang dengan Nino, kami pun keluar
rumah menuju motor dan bergegas pulang.
Randi menjalankan motornya pelan di sebuah jalan yang tidak aku kenal.
Aku sudah tanya sama dia, kenapa lewat jalan ini. Aku tak pernah kenal sama
jalan ini sebelumnya. Dan dia bilang, ini jalan pintas ke rumahku. Dia baru
coba jalan ini malam kemarin, sewaktu dia pulang mengantarkan aku setelah jalan.
“Sayang.. Kok jalannya semakin sepi aja
sih? Aku takut nih..” ucapku sambil mengeratkan pelukanku kepadanya.
“Tenang, Sayang.. Kan ada aku,” jawabnya. Aku pun merasa sedikit tenang
mendengar kata-katanya itu. Tiba-tiba motornya mati di tengah jalan.
“Kenapa, Yank?” tanyaku.
“Nggak tau nih. Kamu coba
turun dulu deh, Yank..”
Aku melompat turun dari motornya. Randi tampak sedang mencoba menyalakan
motornya kembali. Aku menatap sekelilingku. Gelap! Pandanganku jadi nggak
terlalu jelas. Yang bisa kulihat, hanya barisan-barisan pohon dan rumah yang
jaraknya berjauhan antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya.
Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang memelukku dari belakang.
“Sayang.. Kamu menggoda banget malam ini.. Aku udah nggak tahan..” nada suara Randi terdengar aneh di telingaku. Aku
melepaskan pelukannya.
“Apa-apaan sih, Yank?! Udah nyala belum motornya? Aku mau pulang..”
“Kenapa buru-buru, Sayang? Kita cuma berdua di sini.. Aku masih mau
menikmati waktu berdua denganmu..” ucapnya sambil kembali memeluk tubuhku. Aku
sempat membiarkan tangannya menyentuh beberapa bagian tubuhku. Tapi kemudian
aku tersadar.
“Nggak! Aku mau pulang
sekarang, Randi!” ucapku melepaskan pelukannya.
“Ayolah, Yank.. Katanya kamu
sayang aku..? Katanya kamu cinta aku..? Buktikan!”
“Iya aku sayang sama kamu. Tapi nggak harus dengan cara itu kan aku
buktikan rasa sayangku ke kamu?? Antar aku pulang sekarang! Udah malam, ibu
pasti nungguin aku!”
“Tapi aku mau kamu buktikan cintamu dengan cara itu!” ucap Randi
menarik tubuhku kasar. “Kamu nggak
boleh nolak apa mauku, Rani..!” lanjutnya dengan seringaian seram yang seketika
merubah wajahnya yang tampan itu.
“Aku nggak mau, Randi!”
teriakku sambil melepaskan cengkraman tangannya. “Tolong..!!” teriakku sambil
berlari mencoba mencari pertolongan.
“Hahaha..! Percuma! Percuma kamu teriak-teriak! Nggak ada yang bisa dengar teriakanmu!” ucap Randi sambil
mengerjarku.
Aku lari tak tentu arah. Masuk ke dalam hutan yang gelap, dan terus berlari.
“Nggak perlu lari, Rani! Kamu
nggak akan bisa lari dari aku!”
teriak Randi. Aku tak memperdulikannya. Aku hanya terus berlari dan berlari.
Hingga akhirnya aku menemukan sebuah rumah yang terlihat tua dan gelap.
Aku berlari ke arahnya dan menggedor pintunya. Aku berharap ada orang ada di
dalam rumah itu dan bisa menolongku.
Tak ada sahutan dari dalam, dan Randi pun semakin dekat denganku. Aku
mendorong-dorong pintunya, dan ternyata pintu tua itu tak terkunci. Aku masuk
ke dalam rumah usang yang gelap itu.
Aku mencari-cari tempat untuk bersembunyi. Akhirnya, aku menemukan sebuah
lemari tua berdebu yang berada di pojokkan rumah. Aku berlari ke arahnya dan
bersembunyi di baliknya.
* * *
Randi bangkit dari atas tubuhku. Aku menghembuskan satu-per-satu nafas
beratku. Sungguh, aku tak pernah menyangka dia setega ini sama aku. Dulu aku fikir dia jodohku.
Kami selalu cocok dalam hal apa saja. Nama kami pun tak beda jauh. Rani dan
Randi. Sama-sama dipanggil “Ran”.
“Ha.. Ha.. Makasih banget,
Ran..” ucapnya tertawa sambil menggunakan bajunya. Aku beringsut pelan
mengambil pakaianku yang telah robek dan mencoba menutupi tubuhku. “Mau aku
antar pulang nggak, Sayang..?”
tanyanya sambil mencolek daguku. Aku menepis tangannya.
“Yaudah kalau nggak mau..
Daaahhh..” ucapnya santai sambil ngeloyor pergi meninggalkanku di rumah tua
ini. Aku tak tahu lagi harus melakukan apa. Aku cuma bisa menangis dan meratapi
apa yang telah terjadi pada diriku.
Seketika bayangan ibu berkelebat di benakku. Oh ibu.. Aku menyesal tidak
mendengarkan semua perkataanmu. Sekarang aku tahu, kenapa engkau begitu keras menyuruhku
menggunakan jilbab.
Aku mengerti apa alasannya, Bu.. Aku baru mengerti sekarang. Bukan
hanya karena tuntutan agama, tapi juga untuk melindungi diriku.
Oh ibu.. Anakmu ini sudah tak berarti lagi. Anakmu ini sudah kehilangan
hal yang paling mahal dari dirinya. Aku bagaikan baju bekas rusak tak ber-merk yang dijual murah di pinggiran
jalan. Tidak ada orang yang mau membelinya. Jangankan membeli, menoleh pun tak
ada yang sudi kurasa. Aku sudah tak berarti, Bu..
Aku mencari sesuatu. Sesuatu yang bisa kugunakan untuk menutupi tubuhku
yang hina ini. Tak ingin lagi rasanya aku melihat tubuhku yang telah ternoda
ini. Aku membuka lemari tua reyot yang ada di pojokan rumah. Berharap ada kain
yang bisa kugunakan, walau kecil kemungkinan ada baju yang tertinggal di rumah
yang sepertinya sudah lama tak berpenghuni ini.
Tapi, entah Tuhan masih sayang padaku atau apa, aku menemukan sebuah
kain panjang. Aku tak tahu itu baju atau apa. Aku tak dapat melihat jelas
karena gelap. Yang aku tahu dari indera perabaanku, itu seperti daster panjang
yang tua dan sudah pasti kotor.
Aku tak peduli seberapa tua dan kotornya baju yang ada di genggamanku
itu. Langsung saja kukenakan dan aku ingin segera pergi dari tempat ini. Aku
berjalan tertatih menuju pintu. Tiba-tiba kakiku terkait sebuah kain di lantai.
Kuambil saja kain itu dan kubawa keluar rumah.
Di luar rumah, terang rembulan menembus pepohonan dan membantu
penglihatanku. Aku mengangkat tangan kananku dan melihat kain apa yang
menyangkut di kakiku tadi. Kakiku lemas dan aku jatuh terduduk ketika melihat
kain apa yang ada di tanganku sekarang. Jilbab berwarna pink yang mirip sekali dengan buatan ibu yang kubuang kemarin malam.
Hanya bedanya, milikku yang dibuatkan ibu masih bagus dan yang ini sudah lusuh
dan bernoda.
“Maafkan Rani, Bu.. Rani terlambat mengerti apa maksud ibu.. Maafkan
Rani..” bibirku bergerak pelan. Panasnya air mata yang menetes terasa jelas
membara mengalir di kedua pipiku.
Belum lagi rasa maluku yang semakin membuat diriku merasa kecil. Aku
malu terhadap ibu, kepada Tuhan, dan lebih-lebih kepada sebuah kain kecil yang
ada di tanganku ini. Aku sungguh malu pada kain ini yang kemarin tak ada
artinya sedikitpun di mataku. Tapi sekarang, kain ini memiliki sejuta makna
yang tak dapat kuungkapkan.
Segera saja kupakai jilbab lusuh itu. Aku bangkit, menghapus air mataku,
dan mulai berjalan. Aku harus pulang. Aku harus bertemu ibu dan mencium kedua
kakinya untuk meminta maaf.
Maafkan aku, Ibu. Walau kini aku pulang dengan menggendong aib besar di
punggungku, tapi aku sangat berharap engkau akan memberiku kesempatan kedua.
Sungguh aku bersumpah, tak akan pernah aku sia-siakan lagi seperti kemarin,
Ibu. Tunggu aku di rumah. Aku akan pulang dan menjadi Rani yang “cantik”
seperti yang engkau inginkan.
tulisan ini pernah diikutkan lomba dan kalah karena endingnya bunuh diri haha.
yang di posting ini sudah melalui beberapap revisi :)
0 comments:
Post a Comment