Wednesday 17 August 2011

Apa yang Sudah Kulakukan Untuk Indonesia?

Untuk merayakan hari spesial ini, saya akan mencoba menghargai semua yang telah diperjuangkan 66 tahun silam.

Tanpa harus saya jelaskan sebelumnya, para pembaca pasti sudah mengerti siapa yang sedang bergembira di hari yang istimewa ini. Setiap orang pasti mempunyai hari dan tanggal yang sangat istimewa dalam hidupnya. Begitu pula dengan negara ini yang telah berdiri melewati 16 tahun lebih dari batas setengah abad. Negara yang telah diperjuangkan untuk kehidupan banyak orang, negara yang dicaci maki karena tindakan banyak orang, negara yang begitu berharga bagi begitu banyak orang.

Sebagai seseorang yang terlahir di tanah Indonesia, meminum air Indonesia, dan hidup dari segala sesuatu yang tumbuh di Indonesia, sudah sewajarnya saya mengucapkan selamat ulang tahun bagi tanah air tercinta ini. Sama seperti ketika mengucapkan ucapan selamat kepada semua orang yang bertambah usianya, saya mengharapkan bangsa ini akan terus menjadi yang lebih baik lagi di setiap harinya. Namun, ketika saya mengharapkan negara ini berubah menjadi lebih baik lagi ke depannya, maka sebuah pertanyaan pun tercipta untuk diri saya sendiri. Apakah saya sudah memberikan yang terbaik bagi negara ini? Apa yang sudah saya lakukan untuk negara ini?


Dalam hati menghela nafas yang sangat panjang menahan kekecewaan. Saya belum pernah melakukan apa-apa untuk negara ini. Maka apakah saya berhak untuk mengharapkan segala sesuatu yang terbaik dari negara Indonesia ini, negara yang sudah saya jadikan tempat tinggal, tempat berteduh, bahan ejekan, bahan caci maki, selama hampir 20 tahun usia saya? Saya pun menyadari, saya belum berhak menuntut apa-apa dari sebuah bangsa Indonesia, sedangkan saya belum ada melakukan apa-apa bagi Indonesia.

Beberapa tahun silam, ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, perayaan hari ulang tahun negara ini selalu diwarnai dengan pengadaan berbagai macam perlombaan di berbagai tempat. Masih terekam jelas betapa ramainya perayaan di tahun-tahun lalu itu. Ada lomba balapan karung, lomba membawa kelereng di dalam sendok, lomba memasukkan pensil ke dalam botol, lomba makan kerupuk, dan lain-lain. Tapi hari ini? Hari di mana saya sudah menginjak tahun kedua di dunia perkuliahan, perayaan hari kemerdekaan Indonesia ini sungguh sunyi senyap bagaikan tidak ada yang terjadi. Padahal, di tanggal ini, di 66 tahun yang lalu, begitu banyak darah tertumpah, sekian nyawa melayang demi merebut kemerdekaan dari segala jajahan negara lain. Sedih? Iya. Maka kali ini, saya akan merayakan hari kebahagiaan ini degan cara saya sendiri. Tanpa dipenuhi dengan berbagai macam lomba dan hadiah.

Ketika kita melaksanakan upacara bendera, biasanya sang pembina upacara menyuruh kita untuk menghargai semua perjuangan yang telah dilakukan para pahlawan berpuluh tahun silam. Tapi, apakah kita sudah benar-benar melakukan penghargaan itu? Saya ingin jujur, saya belum ada melakukannya. Maka, di hari merdeka ini, saya akan melakukannya. Saya akan menggunakan sebuah bahasa yang telah diperjuangkan para pahlawan diwarnai dengan merah darah yang mereka tumpahkan untuk sebuah bangsa yang merdeka. Bahasa pemersatu bangsa, Bahasa Indonesia. Hari ini hari spesial, maka bahasa ini pun menjadi sangat spesial. Jika di hari-hari biasa saya menggunakan bahasa Indonesia yang buruk, biarkan satu hari dalam 366 hari ini saya gunakan untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya pamit izin dari semua bahasa asing dan bahasa gaul yang ada :)

Saya ini bukan rakyat Indonesia yang baik. Saya tidak begitu bangga ketika saya bisa menguasai bahasa Indonesia dengan baik, tapi saya bangga sekali ketika saya bisa menguasai bahasa asing. Bahkan, saya mengambil jurusan bahasa asing untuk kuliah saya. Padahal bahasa ini yang telah merebut sekian banyak nyawa pahlawan. Bahasa yang dulu digunakan secara sembunyi-sembunyi agar bisa tersebar luas, kini tak lagi begitu berharga di mata anak bangsanya sendiri. Padahal jika dilihat, untuk bisa menguasai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar lebih susah daripada menguasai bahasa asing. Tapi entah kenapa saya lebih cepat memahami penggunaan bahasa internasional daripada bahasa nasional. Bahkan, semasa saya di bangku sekolah dulu, nilai bahasa asing saya selalu lebih tinggi daripada nilai Bahasa Indonesia saya. Bahkan terkadang saya malu ketika berbicara Bahasa Indonesia menggunakan tata bahasa yang baik. Padahal, saya selalu berusaha benar dalam penggunaan tata bahasa asing yang saya pelajari. Bahkan, ketika saya menuliskan kalimat-kalimat dengan bahasa Indonesia dengan baik di jaringan-jaringan sosial yang saya punya dan saya baca ulang, saya sendiri merasa aneh. Keanehan yang saya rasakan ini merupakan sebuah bukti nyata bahwa saya teramat sangat jarang menggunakan bahasa yang sudah diperjuangkan pahlawan-pahlawan bangsa. Maka, bagian mana yang bisa saya sebut sebagai penghargaan atas semua perjuangan tumpah darah Indonesia? Maafkan saya, Indonesia.

Di setiap upacara bendera, ada satu momen di mana dinyanyikan lagu nasional bangsa ini mengiringi sebuah kain dua warna naik ke ujung tertinggi tiang. Beberapa tahun silam, di setiap tanggal 17 Agustus, halaman setiap rumah di seluruh penjuru Indonesia tidak peduli berbeda suku dan agama, selalu diwarnai dengan sebuah tiang berwarna putih dan selembar kain berkibar di ujungnya. Namun hari ini? Hanya di halaman rumah saya dan satu orang tetangga yang mengibarkan Sang Saka Merah Putih di halaman depan rumahnya. Yang lain mungkin lupa bahwa hari ini adalah hari istimewa bagi bangsanya. Padahal, bendera dengan dua warna ini dulu dijahit oleh ibu Fatmawati dengan ribuan tetes air mata, dikibarkan dengan dibayar ratusan nyawa pejuang. Dahulu, setiap kali ada rakyat Indonesia yang berani mengibarkan sang dwi warna, pasti mati ditembak oleh penjajah. Kini? Di saat Indonesia telah jauh dari jajahan negara lain, rakyatnya malah malas untuk mengibarkan selembar bendera bahkan hanya untuk satu hari di mana kemerdekaan telah direbut. Padahal mereka tidak perlu membayar nyawa untuk mengibarkan sang dwi warna.

Hari ini, saya menonton acara pengibaran Sang Saka di lapangan Istana Negara. Perasaan yang sama seperti saat saya menonton acara tersebut untuk pertama kalinya pun muncul di pagi ini. Merinding dan bangga. Bulu kuduk ini berdiri mendengar setiap hentakan kaki para anggota paskibraka. Walau saya tak pernah menjadi anggota paskibraka, tapi saya tahu jelas bagaimana bangga yang dirasakan. Pengalaman mengibarkan Sang Dwi Warna di lapangan sekolah SD, SMP, SMK, cukup menghadirkan kembali semua rasa bangga dan haru saat itu.

Hari ini, saya tidak hadir upacara bendera di lapangan mana pun. Saya tidak mengibarkan bendera di tiang mana pun. Namun saya tetap mengheningkan cipta dalam doa untuk semua pahlawan yang sudah tenang di surga sana, mengibarkan sang Dwi Warna di tiang tertinggi dalam hati ini, dan melantunkan lagu Indonesia Raya di bibir ini. Semoga di ulang tahun Indonesia di angka yang bagus ini, Indonesia akan terus maju dan akan semakin baik keadaannya. Semoga di saat Indonesia terus merubah keadaannya ke arah yang lebih baik, saya sudah bisa menjadi sebuah apa-apa yang bisa memberikan yang terbaik untuk bangsa tercinta ini, aamiin. Selamat ulang tahun Indonesia ku, semua yang terbaik terucap dalam do'a untukmu.

Balikpapan, Kalimantan Timur, Indonesia.
17 Agustus 2011

0 comments:

Post a Comment