Saturday 18 August 2018

Melahirkan Itu..

"Pada umumnya badan manusia mampu menahan sakit 45 del, sedangkan ibu melahirkan merasakan rasa sakit sebesar 57 del, atau setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara serentak."

Dulu, gue kalau liat ibu hamil dan melahirkan itu suka bertanya-tanya, "Gimana ya nanti kalau gue hamil dan melahirkan?" Kalau kata si Mama sih, gue kalau nanti hamil dan melahirkan pasti lebay. Ternyata, Tuhan nggak mau menunda-nunda untuk memberikan jawaban pertanyaan gue itu setelah menjawab pertanyaan sebelumnya tentang jodoh. Nggak menunggu lama setelah menikah, gue dan suami langsung diberikan kepercayaan untuk mengurus si malaikat cilik. Sekarang emang zamannya langsung jadi, sih ya, hahaha. 


Sekilas cerita tentang kehamilan gue. Ternyata dugaan mama yang katanya gue kalau hamil lebay, itu nggak sepenuhnya benar. Lebih tepatnya, gue ketika hamil lebih ke manja (emang kalau nggak hamil nggak manja, Ban?), haha. Hamil jauh dari mama itu sebenarnya nggak enak. Kan, yang namanya hamil pertama itu perempuan pasti enaknya cerita dan tanya-tanya ke mama sendiri ya? Tapi, alhamdulillahnya, gue dikasiih mertua yang baik, yang mau ngurusin hamil gue yang rusuh ini.

Waktu awal-awal hamil, ya seperti perempuan kebanyakan gue melewati fase "mabok". Setiap pagi morning sick: mual, pusing, dan rasanya nggak mau beranjak dari kasur sedetik pun. Untungnya, gue biarpun makan terus muntah, tapi tetap maksa makan lagi.

Berpegang teguh pada nasehat: kalau hamil kudu fun, gue nggak punya pantangan apapun selama hamil. Katanya nggak boleh makan pedes, minum es selama masa kehamilan. Gue trabas, haha! Pokoknya, apapun yang bisa buat gue makan, kenyang, bahagia, gue babat! Dan, syukurnya (lagi), si bayik memang sangat pengertian dan nggak mau menyusahkan mamanya. Kerja tetap jalan. Pulang jam 11 malam, nggak rewel. Pakai high heels, oke. Kerja lembur, dijabanin. Mblayang naik turun gunung pun, masih sempat. Bahkan, ketika di vonis sungsang dan batas menunggu dari dokter tinggal seminggu pun, tiba-tiba adek memutar posisi dengan sendirinya. Padahal si mama paling malas disuruh nungging, hehe. 

Bulan pun berganti, akhirnya masa cuti melahirkan pun tiba, HPL (Hari Perkiraan Lahir) semakin dekat. FYI, HPL si adek 25 Oktober 2017. Emang, dulu gue pernah berandai-andai kalau punya anak pengen tanggal lahirnya samaan. Eh, siapa sangka HPL nya malah selisih sehari. Waktu itu masih sempat berharap punya tanggal lahir yang sama, jadilah gue setiap malam ngebujukin si adek biar lahirnya maju sehari, hehe.

Kehamilan pertama, belum punya pengalaman apa-apa, membuat gue punya banyak pertanyaan, kekhawatiran, dan ketakutan ketika mendekati HPL. Bukan, gue bukan takut melahirkannya, tapi lebih takut pada kondisi si bayi. Mengingat gue orangnya suka nggak peka, takutnya gue nggak sadar akan tanda-tanda kelahiran. Apalagi, sudah H-3 HPL gue masih belum ngerasa apapun.

Kalau kata mama dan dokter, pokoknya kalau sudah keluar darah dan lendir, atau keluar air ketuban baru ke rumah sakit.  Yang paling gue takutkan itu ya air ketuban. Karena, dari yang gue baca-baca air ketuban bisa berubah jadi jelek, dan bisa menyebabkan bayi meninggal jika tertelan. Sedangkan, kita nggak bisa tau kualitas air ketuban, sebelum ketuban pecah, cuma bisa dilihat volume nya saja waktu di USG. Nah, gue kan nggak ngerti ya, gimana bentuknya si air ketuban, jadi gue suka nanya sama mama. Ditambah, selama masa kehamilan gue mengalami keputihan. Setiap ngerasa ada cairan yang keluar, gue panik bukan main. Bingung itu air ketuban atau bukan. Bertanya sama orang lain, maupun googling tetap nggak kasih bayangan yang jelas untuk gue, bentuk air ketuban itu seperti apa.

Minggu, 22 Oktober 2017
Jadwal pipis memang jadi tambah sering waktu hamil besar. Subuh-subuh, gue udah kebangun gara-gara kebelet. Waktu gue berdiri, tiba-tiba aja ada air yang ngucur lumayan banyak di kaki. Gue pikir, lah gue ngompol, dan buru-buru ke kamar mandi. Tapi, gue perhatiin lagi air yang keluar bukan air pipis : bening dan tidak berbau - kayak yang gue baca di google. Langsung deh, gue bangunin mas bojo, bilang kalau kayaknya air ketuban gue rembes.

Berhubung gue belum siap-siap-in apa-apa buat ke RS, akhirnya sekitar habis dzuhur gue baru meluncur ke RS. Sebelumnya sempat bingung mau melahirkan di RS mana. Berhubung gue periksa di RSKIA Sadewa sama dokter Ariesta, niat melahirkan juga di sana biar bisa ditangani sama dokter obgyn yang sama. Hanya, si ibu mertua dan mas bojo sebelumnya agak ragu kalau mau melahirkan di Sadewa, karena kondisi jarak yang lumayan jauh dari rumah - perlu kurang lebih setengah jam perjalanan. Takutnya, gue nggak kuat dan mbrojol di jalan, hahaha. Yaudah, akhirnya gue mikir gue bakal melahirkan di mana RS terdekat saat gue ngerasa mau berojol. Ternyata, karena kondisi gue yang masih memungkin kan untuk pergi jauh, masih bisa ngebanyol dan ngakak, akhirnya diputuskan untuk tetap ke Sadewa.

Sampai di Sadewa, gue langsung ke IGD dan diperiksa sama dokter jaga. Gue ceritain kalau gue rembes air ketuban tapi belum ada keluar lendir dan darah. Setelah diperiksa, ternyata kata dokternya belum ada pembukaan sama sekali dan posisi bayi masih jauh di atas, bahkan belum masuk panggul. Berhubung waktu gue masuk hari Minggu, dokter Ariesta nggak stand by dan dokter jaga perlu laporan by phone. Selama nunggu titah dokter Ariesta, mas bojo disuruh ngurus BPJS dulu, jaga-jaga kalau nanti disuruh rawat inap. Gue pikir, karena bayi masih jauh paling gue disuruh pulang dulu. Ternyata, gue diminta mondok karena air ketuban sudah rembes, jadi biar bisa diawasi lebih lanjut. Yah, karena yang paling gue takutkan adalah si air ketuban, gue nurut aja akhirnya.

Lumayan bosan nggulang-ngguling di kamar rawat sendirian sedari sore, karena si mas bojo pulang dulu ke rumah buat ambil barang-barang keperluan doi. Habis maghrib, sekitar jam 19.00, ada suster datang ke kamar gue bawa obat kecil.
"Mbak, ini ada obat diminum, ya. Kecil aja kok, Mbak. Ini untuk memacu supaya bayinya cepat keluar."
Oh, oke. Akhirnya gue dikasih tindakan induksi. Padahal gue juga paling takut dikasih tindakan ini karena sudah dengar langsung beberapa kesaksian - yang katanya mengerikan - tentang induksi. Sempat ngeles untuk minta diinduksi besok biar bisa ngobrol sama dokter Ariesta dulu, tapi ditolak.
"Ini atas perintah dokter Ariesta kok, Mbak. Lagian kan Mbak sudah rembes air ketuban, takutnya nanti ada bakteri yang masuk malah kasihan dedeknya. Ini tindakannya bukan buat ibunya kok, Mbak, tapi untuk bayinya."
Penolakan dengan penjelasan panjang, yang memang sebelumnya juga sudah pernah gue baca. Akhirnya gue minta untuk nunggu mas bojo dulu. Si suster akhirnya pergi, ninggalin obat dan surat persetujuan tindakan.

Sambil nunggu mas bojo balik ke RS, gue telepon mama dan cerita tentang tindakan induksi tadi. Jawaban mama waktu itu, ya ikutin aja apa kata dokter, karena yang paham soal kondisi bayi kan dokternya. Waktu mas bojo datang juga bilang begitu. Yaudah, akhirnya gue tandatangani lah surat persetujuan tindakan, dan akhirnya minum obatnya. Setelah lapor suster, diminta untuk nunggu sampai pemeriksaan lanjutan jam 23.00.

Selama nunggu reaksi obat yang gue minum sekitar jam 19.30, nggak ada rasa sakit yang berarti. Gue masih bisa telpan-telpon mama sama komandan, main game, ngemil, ngebalasin chat dari sohib-sohib yang tetiba heboh gara-gara tau gue sudah masuk RS.
"Ma, ini beneran sakitnya cuma begini doang?"
Sempat sombong gue, karena skala sakitnya cuma 2 dari 10. Sampai si suster datang untuk pemeriksaan lanjutan jam 23.00. Setelah diperiksa, ternyata baru bukaan 1, itu pun masih sedikit. Suster laporan lagi sama dokter Ariesta. Nggak lama, gue dikasih obat lanjutan, yang masih sama seperti obat pertama, dan bakal diperiksa lagi jam 03.00 dini hari. Gue iyain, dan siap-siap tidur.

Senin, 23 Oktober 2017
Ternyata. Hm. Perjuangan baru dimulai dari saat itu. Gue nggak bisa tidur sampai pagi. Sakitnya menurut gue sudah naik jadi 5 dari 10. Gue udah gulang guling sana sini, ngelah ngeluh sakit. Tiap 5 menit sekali ketiduran, pasti bangun lagi, sampai jam 03.00. Suster datang dan cek lagi. Baru bukaan 2. Bukaan 2! Sedih nggak, sih? Gue sih, sedih. Gue pikir sudah bukaan 5, ternyata cuma naik 1 bukaan. Akhirnya diminta untuk nunggu lagi sampai jam 06.00.

Please, nggak usah ditanya gimana bentuknya gue selama 3 jam itu. Nggak tidur! Mas bojo pun akhirnya nggak tidur dan jadi tukang pijat pinggang plus motivator.

Pagi pun datang, sarapan diantar, suster pun berkunjung.
"Masih bukaan 2 ya, Mbak. Bukaan 3 tipis lah, kalau lagi kontraksi."
Ya Rabb. Pengen nangis deh denger apa yang dibilang susternya. Sudah nggak tidur, lho ini, Sus. Nggak tidur.
"Sabar aja ya, Mbak. Itu pahalanya di situ."
Iya, oke. Pahalanya di situ. Disuruh nunggu lagi sampai jam 10.00 dan diminta sarapan. Rasanya sih, gue udah nggak sanggup untuk makan. Tapi tetap dipaksa supaya nanti ada tenaga untuk melahirkan.

Pemeriksaan jam 10.00 pun nggak ada kemajuan apa-apa. Masih stuck di bukaan 3. Nggak lama, Mama sampai di RS. Emang kayaknya si bayi nunggu neneknya sih. Sempat galau bagusnya mama ke Jogja kapan, karena takutnya gue lahirannya mundur dari HPL, gue keukeuh kalau si bayi lahir barengan ulang tahun gue. Jadi, Mama sengaja gue minta datang tanggal 23 Oktober. Siapa sangka, setelah landing sudah harus langsung ke RS.

Bentuknya gue waktu mama datang sudah semakin nggak karuan, jengkang jengking, duduk bangun, yang semuanya rasanya serba salah. Yang namanya nyokap ya, lihat anaknya kayak gitu, langsung nangis. Yah, gimana dong, gue kan jadi ikutan nangis. Sakitnya sudah semakin naik, gantian mama yang jadi tukang pijit pinggang. Waktu itu, rasa sayangnya kerasa banget. 

Nggak lama, suster datang lagi sambil bawa surat. Akhirnya gue diminta untuk induksi yang obatnya dimasukkan melalui infus. Ah, apa yang gue takutkan akhirnya terjadi juga. Mau nggak mau, deh, akhirnya tanda tangan juga. Setelah itu, masih sempat disuruh makan, dan disuapin mama. Ah, kapan terakhir disuapin mama entah lupa. Tapi makanan yang waktu itu, jelas nambah tenaga dan semangat,

Sekitar jam 12.30 gue dibawa ke ruang bersalin didampingi mas bojo. Ruang bersalin itu, luas,ada 3 tempat tidur untuk melahirkan, terpisah-pisah dengan sekat gorden. Waktu gue masuk, sudah ada 2 ibu yang berjuang, dan gue dikasih di kasur tengah. Ha, ibu sebelah kiri gue teriak-teriak minta caesar. A lil suggestion aja sih, kalau bisa waktu melahirkan jangan teriak-teriak, apalagi kalau di ruangan ada ibu selain kita. Karena apa? Selain karena membuat si bayi stress, itu juga buat stress calon ibu lainnya. Yes, gue stress dan panik waktu pertama masuk ruangan karena ibu di sebelah kiri gue teriak-teriak mulu. Gue minta balik ke kamar aja selama nunggu induksi, tapi gabisa *yaiyalah!

Akhirnya si ibu sebelah melahirkan. Entah kenapa, gue dengar suara tangisan bayinya otomatis nangis, haha. Sebelah kiri kosong, kanan masih anteng - keren banget deh si ibu kanan ini dia nggak ada suara sedikitpun, dan giliran gue yang mulai meraung-raung kayak knalpot RX King sampai diomelin bidannya (emang supaya nggak jejeritan itu susah sekali, saudara-saudara). Nggak lama, si ibu kanan ini sepertinya sudah bukaan lengkap dan udah waktunya lahiran. Sepertinya lagi, beliau ini nggak kuat ngejen-nya apa gimana gue nggak paham sampai akhirnya harus ada tindakan gunting, dan dese teriak gitu. Haaa... gue down lagi. Akhirnya, lahirlah bayi ibu kanan, dan nangis lagi lah gue. Gatau deh, pokoknya acara melahirkan gue dipenuhi jeritan dan tangisan, sampai gue diomelin si tukang ngambek itu.

Kanan-kiri gue sudah kosong. Nggak lama, sebelah kiri ada yang isi lagi. Gue mungkin sudah jejeritan lebih dari sejam, dan waktu diperiksa dokter Ariesta masih bukaan 5. Ya Allah, paham kan kenapa sampai nangis-nangis gitu. Rasanya itu mules banget pengen ngejen aja, tapi diomelin bidan. Berusaha nggak ngejen, tapi dia auto ngejen gitu gimana cobaaa. Disuruh tarik nafas-buang, tarik nafas-buang, giliran gue ngomel sama bidannya karena gue udah nggak bisa bernafas dengan normal, akhirnya pakai oksigen. Karena gue ngejen mulu dan kebetulan emang sebelum melahirkan gue nggak bisa poop, akhirnya gue poop lah, huuh. Malunya. Gue sampai minta maaf mulu sama bidannya, dan mereka bilang nggak apa-apa, but I keep apologizing. 

Gue masih berjuang, jejeritan, bercucuran air mata, auto ngejen, dan diomelin bidan disuruh tarik nafas-buang sampai sekitar jam 4 sore. Sampai akhirnya gue ngerasa ada yang mau keluar, gitu! Gue bilang lah sama bidannya kalau ada yang mau keluar, dan mereka bilang itu veses. Gue keukeuh bilang, bukan! Akhirnya mereka cek, dan mereka kaget sendiri, "Eh bayine wes mudun, ih." dan langsung prepare segala alat dan kaki gue dinaikkin ke alat bantu supaya bisa buka to the max. 

Gue ngejen sekali, putus. Bidan dan mas bojo heboh bilang kepalanya sudah keluar setengah, hah! Kaget dong gue. Disuruh ngejen sekali lagi yang kuat, dan gue coba sekuat yang gue bisa, dan bleng! Rasanya lega, dan disuruh nggak ngejen lagi sama bidannya, nggak lama terasa ada yang meluncur, dan tangis bayi gue oficially mengudara.

Gue ngangkang cukup lama, yes, karena si dokter gue sedang tidak di tempat, dese pulang karena waktu terakhir cek gue masih bukaan 5, dan di luar perkiraan gue melahirkan lebih cepat. Nggak lama si bayik pun dikasih ke gue untuk IMD. Ha, ternyata gitu rasanya bersentuhan sama makhluk yang 9 bulan lamanya ada di perut gue. Nggak bisa diceritakan rasanya gimana, yang sudah jadi ibu pasti paham, yang belum, sabar ya nanti juga paham. Nggak lama dokter datang heboh nanya gue melahirkan jam berapa dan doi tinggal ngejait doang. Kelar urusan jahit-menjahit, balik ke ruangan. Setelah maghrib, si bayik merah diantar dan jadi artis mamanya pun terlupakan, hm.


And here he is, Muhammad Rui Zafran Alfarizqi. Hampir 10 bulan yang lalu gue melahirkan, sudah lupa rasa sakitnya seperti apa, tapi masih ingat segala prosesnya. Sekarang, sedang menikmati melihat tumbuh kembang si bayik yang sudah jago merayap macam tentara dan memanjat apa yang bisa dia panjat. Menjadi ibu itu ternyata rasanya jauh lebih campur aduk, dibandingkan rasa ketika menjadi pengantin. Benar kan, Ibu-Ibu? :)


Balikpapan, dalam curian waktu saat tidak dalam jangkauan si bayik.

0 comments:

Post a Comment